Competition

Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 18 April 2013

UU 22 tahun 2001 Dimata Pebisnis


UU 22 tahun 2001 Dimata Pebisnis

UU 22 tahun 2001 Dimata Pebisnis
Jumat, 16 Oktober 2009 17:26


Sammy Hamzah, wakil presiden Indonesian Petroleum Organization (IPA) dan ketua Komisi Tetap Migas Kadin memberikan pendapatnya tentang perubahan UU 22 tahun 2001 dalam wawancara ekskusif kepada Wendy S Hutahaean, wartawan Warta Ekonomi, di kantor Ephindo daerah Sudirman pada beberapa waktu lalu.

Apa masalah yang menyebabkan UU 22 tahun 2001 tentang Migas diusulkan untuk direvisi?

Jika dilihat UU 22 ada masalah yang sifanya struktural seperti posisi BP Migas yang lansung melapor ke presiden, padahal seharusnya mereka harus berkoordinasi dengan Menteri ESDM terlebih dahulu. Di samping itu, masalah isi UU itu sendiri terletak pada Pajak Eksplorasi dan Pajak Pertambahan Nilai. Di sini terdapat perbedaan penerapan, dalam UU nya industri Migas dikenai pajak seperti industri lain. Namun pada kenyataannya, negara masih sangat mengandalkan devisa dari industri Migas. Jika diberlakukan pajak seperti industri lain, maka industri Migas akan sulit berkembang. Seperti yang kita ketahui bahwa pajak eksplorasi berasal dariuang resiko investor, dimana kemungkinan berhasilnya suatu projek Migas adalah 30%. Jika resiko bisnisnya tinggi ditambah pajak yang tinggi juga, akan sulit bagi para investor untuk bertahan.

UU 22 sebenarnya dibuat menggantikan UU 11/1971 untuk mengalihkan fungsi Pertamina dari regulator sekaligus pemain menjadi hanya sekedar pemain, walaupun dengan beberapa keistimewaan. Lebih jelasnya, UU 22/2001 tersebut menjadikan Pertamina hanya sebagai pemain biasa dan BP Migas sebagai regulator. Namun, saat ini banyak timbul pertanyaan tentang perlunya BP Migas dan haruskah Pertamina dikembalikan fungsinya yang lama. Memang di negara lain dikenal sistem PHD, yaitu dipisahkan antara regulator dan BUMN pemain seperti di Malaysia.

Bagi kami, sebnarnya tidak ada masalah siapa yang menjadi regulator, namun yang penting adalah kejelasan dan kontinuitas Undang-Undang ini. Masyarakat umum terkadang salah persepsi tentang siapa regulator, manajemen dan pemain dalam industri migas ini. Saat ini, yang menjadi regulator adalah Dirjen Migas sebagai pembuat UU dan BP Migas berperan sebagai pengawas serta wakil pemerintah. Dalam prakteknya, investor ingin menjalin hubungan saling percaya dengan BP Migas. Sebaiknya, perusahaan minyak jangan diawasi terlalu detail, karena itu akan menghambat kinerjanya secara tidak lansung. Rasa saling percaya antara pemerintah dan investor ini juga akan lebih memudahkan BP Migas dalam melaksanakan tugasnya.

Banyak analis yang percaya bahwa lebih baik kembali ke fungsi Pertamina yang lama yang mempunyai fungsi ganda. Namun, menurut saya hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan produksi minyak di Indonesia. Hal ini diakibatkan ke\arena kesalahan bukan pada terletak struktur UU namun pada prakteknya. Sebenarnya, investor juga ingin Pertamina dapat bersaing secara sehat dengan pemain lainnya. Jadi, pada intinya tujuan KomIsi VII itu revisi UU 22/2001 bukanlah tindakan yang tepat.

Apakah turunnya produksi Migas di Indonesia akhir-akhir ini diakibatkan oleh UU Migas 22/2001?

Penurunan produksi minyak secara alamiah terjadi karena eksploitasi minyak di Indonesia masih berkutat di lahan-lahan tua sekitar 80%-90%. Penurunan ini sangat menghawatirkan dan drastis sekali. Kontrak yang disepakati selama ini belum ada yang menyentuh lahan-lahan eksplorasi minyak yang baru. Sedangkan untuk eksploitasi lahan tua, biaya perawannya sanga mahal. Kita mengenal primary recovery, secondary recovery dan tertiary recovery.

Yang kedua adalah permasalahan kurangnya insentif yang diberikan pemerintah. Selain itu, terdapat kontradiksi peraturan yang membuat investor enggan menanamkan modal di Indonesia. Jika kita perhatikan nilai replacement ratio, yaitu jumlah minyak yang diproduksi dibandingkan minyak yang ditemukan, Indonesia masih sangat kecil. Jadi UU Migas bukanlah menjadi penyebab utama turunnya produksi minyak di Indonesia.

Apakah sistem birokrasi di Indonesia turut memberatkan investor khususnya dalam hal Migas?

Banyak yang mengusulkan agar Dirjen Migas dijadikan satu dengan BP Migas agar lebih efisisen. Namun hal tersebut bukanlah menjadi masalah utama investasi di Indonesia. Kurang terjalinnya koordinasi anatara pemerintah pusat, department dan pemerintah daerah khusunya pasca Otonomi daerah perlu segera diperbaiki agar iklim investasi di Indonesia lebih meningkat.

Apakah kenaikan harga minyak saat hanya akan menguntungkan investor dan membuat pemerintah rugi?

Sebenarnya yang membuat pemerintah merasa rugi jika harga minyak minyak naik adalah masalah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah yang lebih besar. Jika pemerintah menghapus subsidi minyak, yang memang lebih bermuatan Keberatan pemerintah akibat pemerintah harus mengeluarkan subsisdi lebih bermuatan politik daripada ekonomi, maka tidak ada yang merasa dirugikan. Dua tahu lalu kita masih menjadi anggota OPEC, namun saat ini Indonesia menjadi importer minyak.

Sebenarnya, investor asing masih menganggap Indonesia masih menjadi lahan potensial secara geolohgis. Namun masih banyak lapangan yang dapat dieksplorasi walaupun tidak selandai Cepu seperti lautan dalam, pedalaman Papua. Yang paling penting adalah bagaimana menarik investor agar melakukan eksplorasi di wilayah indonesia.

Mengapa Pertamina hanya dapat menempati posisi kedua dalam produksi minyak di Indonesia?

Sebenarnya potensi Pertamina sangat besar, namun kurang dimaksimalkan. Saya pribadi juga sangat ingin perusahaan nasional lebih berperan di negara ini. Aset pertmaina masih banyak yang puluhan bahkan ratusan juta barrel. Bayangkan kalau dikembangkan saat harga minyak seratusan juta barrel pasti produksinya melimpah. Kalau bisa perusahaan nasional yang mengelola sumber adaya alam kita yang melimpah agar pemasukannya ke negara. Namun sifat indonesia yang cenderng liberal tidak membantu pertamina dalam penguasaannya. KADIN juga ingin melihat potensi dan porsi perusahaan nasional dan international. Sudah saatnya dilihat dan dikembangkan secara serius.

Bagaimana kinerja keuangan Pertamina? Mengapa dari pendapatan Rp400 triliun, 75% dialokasikan hanya untuk membeli minyak dari perusahaan asing?

Memang Pertamina bukan dalam posisi yag gampang. Hal ini karena perusahaan ini juga diandalkan sebagai agen sosial seperti untuk tujuan distribusi dan subsisdi oleh pemerintah. Kalau ingin meningkatkan keuangan dan kinerjanya seharusnya merka diberi keleluasaan dan bantuan agar Pertamina dapat berkembang dengan normal sebagai pemain minyak dan dapat berkompetisi dengan perusahaan minyak asing.

Mengapa Pertamina sering kalah tender, contohnya Exxon bisa mengalahkan Pertamina dalam pengelilaan Blok Cepu?

Tindakan pemerintah yang lebih cenderung mendukung perusahaan minyak asing karena anggapan bahwa perusahaan asing lebih bersih dari KKN dan cenderung memperketat pengawasan terhadap Pertamina dalam hal tender. Bahkan lebih gampang perusahaan asing bekerja dengan pemerintah daripada perusahaan nasional. Sebenarnya, pemerintah harus konsekuen jika ingin Pertamina dan perusahaan minyak nasional berkembang. Bahkan BP Migas yang berusaha menggalakkan perusahaan nasional kurang kelihatan kinerjanya karena hal tersebut.

Jika keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan minyak asing ini terus berlanjut, maka ini akan menyebabkan perusahaan asing merasa dininabobokkan. Pemerintah harui lebih serius dan selektif dalam memilih perusahaan yang benar-benar ingin mengelola khusunya dalam hal eksplorasi. Perusahaan minyak nasional juga harus diberdayakan dan didukung.

Apakah Biaya Recovery Indonesia yang senilai US$9/barrel dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia senilai US$8/barrel diakibatkan oleh BP Migas?

Sungguh tidak bijak jika mengatakan melonjaknya cost recovery karena BP Migas. Namun hanya disebabkan kita hanya meraup dari lapangan-lapangan tua lebih dari 80%, sehingga biaya nya naik produksinya. Maintenance sangat tinggi. Secara alami biaya kita akan naik. BP Migas memang mengusulkan agar biaya recovery dibatasi, namun hal ini hanya merupakan dampak dari kepanikan dari turunnya produksi minyak di Indonesia. Padahal kalau dibatasi cost recovery, produksinya akan turun. Namun yang paling penting adalah pengendalikan biayanya, dimana para pemain yang nakal. Permaslahannya bukan cost recovery, tapi replacement yang di bawah satu persen, itu akan dirasakan bebannya oleh anak cucu kita. Eksplorasi yang kurang dan produksi yang menurun. Menurut saya harus dilihat gambaran besarnya.

Bagaimana kemungkinan revisi UU Migas ke depan untuk memperbaiki investasi migas ke depan?

Pemerintah harus sadar bahwa investasi adalah kunci utama. Jika pemerintah merasa kuata taapa investor, lakukan sendiri. Namun jika mmasih membutuhkan investor, maka harus didukung. Mengapa banytak investor yang lari ke luar negeri. Semoga uu 22/2001 berubah menjadi lebih baik. Agar para investor menanamkan dananya lebih baik lagi. Pajak akan diklarifikasi lagi.

Apakah peran BP Migas apakah harus diubah?

Permasalahan bukan hilang atau tidaknya peran bp migas. Namun dalam prakteknya, fungsi pengawasan tidak terlealu membebani, namun dari yang mengawasi dan yang diawasi. kita sering protes masalah hukum, peratruran yang tidak benar, padahal pelaksanaan pada prakteknya yang salah. Lebih baik pemerintah yang mengeluarkan duit untuk eksplorasi. Namun apakah pemerintah sudah kaya . Namun apakah pertamina sudah siapa mengelola kedua posisi tersebut. Dengan kembalinya peran ganda Pertamina akan memusingkan Pertamina yang saat ini bertekad menjadi pemain minyak dunia. Pengembalian fungsi ganda tersebut itu perlu dipertimbangkan matang-matang.

Bagaimanakah kualitas pegawai pertamina dan pegawai asing?

Secara teknis banyak orang pintar teknologi pertamina. Namun dari segi wirausaha masih kurang spiritnya. Keuntungan perusahaan asing adalah mereka membawa profesionalisme wirausaha dari negara mereka. Hal itu masih menjadi sesuatu yang jamak bagi perusahaan nasional. Kita bisa lihat contoh penegakan peraturan di perusahaan asing dan bumn, lebih konsekuen di perusahaan asing. Sebenarnaya warga indonesia bisa profesional asalkan mau konsekuen. Banyak teknisi dan geiolog kita sangat hebat dan diterima di negara lain.

Apakah menurut Anda Indonesia sebagai negera berkembang hanya dimanfaatkan oleh negara maju untuk kepentingan mereka?

Sebenarnya kita kita harus bercermin. Sudah saatnya kita mengembangkan industri lain yang sebenarnya dapat lebih besar daripada industri migas. Sehingga indonesia tidak tergantung pada industri migas dan pemerintah beranggapan migas masih menjadi tumpuan. Sehingga apapun yang terjadi dengan harga minyak, Indonesia tidak terpengaruh.

Tidak benar perusahaan asing mengeksploitasi secara berlebihan. Malah seharusnya kita bersyukur mereka masih mau berinvestasi di Indonesia adan melihat itu sebagai yang masih menarik. Potensinya perlu diasah dan diberi ruang gerak nasionalisasi yang sehat. Nasionalisasi pada saat yang tepat dan jangka panjang harus perhatikan. Jangan anggap kita tidak emebutuhkan bangsa lain, sebaliknya ketergantungan saling dengan negara lain agara saling membangun.

Ditulis Oleh:
WENDY HUTAHAEAN
( wendy@wartaekonomi.co.id Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )

0 komentar:

Posting Komentar