Competition

Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

This is default featured slide 1 title

replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label News. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label News. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 April 2013

Menantang HM Sampoerna Menjadi Nomor Satu

Menantang HM Sampoerna Menjadi Nomor Satu
Menantang HM Sampoerna Menjadi Nomor Satu
Kamis, 24 September 2009 12:00


Tanpa banyak basa-basi, John Gledhill, presdir baru PT HM Sampoerna Tbk. sejak Mei lalu, mencanangkan tekad untuk menjadikan HM Sampoerna sebagai pemain nomor satu di industri rokok di Indonesia. Salah satu strateginya adalah meningkatkan kerja sama dengan masyarakat, karyawan, dan mitra bisnis untuk meraih sukses bersama-sama sesuai filosofi “Tiga Tangan” warisan Liem Seeng Tee, pendiri HM Sampoerna.

Empat tahun silam, tepatnya 18 Mei 2005, perusahaan rokok PT HM Sampoerna Tbk. resmi tak lagi menjadi milik keluarga konglomerat nasional Putera Sampoerna. HM Sampoerna diakuisisi oleh perusahaan rokok raksasa dunia Philip Morris Inc. asal Amerika, lewat PT Philip Morris Indonesia. Philip Morris sekarang menguasai 98% saham HM Sampoerna. Kala itu sempat muncul keraguan akan kemampuan Philip Morris, sebagai investor asing, mempertahankan kejayaan HM Sampoerna sepeninggal keluarga Putera Sampoerna sebagai pendiri perusahaan. Namun, nyatanya keraguan itu tidak terbukti.

Saat ditinggalkan keluarga Sampoerna, kinerja HM Sampoerna dalam posisi sangat baik, dengan penjualan bersih (net sales) sebesar Rp17,65 triliun (2004). Ketika itu, HM Sampoerna adalah perusahaan rokok yang menguasai pangsa pasar ketiga terbesar (19,4%) setelah Gudang Garam dan Djarum. Dan, sejak dikuasai Philip Morris, kinerja HM Sampoerna ternyata terus berkembang. Pada 2005 penjualan bersihnya meningkat menjadi Rp24,66 triliun, dan Rp29,55 triliun pada 2006. Angka penjualan bersih HM Sampoerna makin tinggi pada 2007, yaitu sebesar Rp29,78 triliun dan mencapai Rp34,68 triliun pada 2008.

Dalam posisi kinerja yang terus menunjukkan tren meningkat itu, tahun ini Philip Morris menunjuk salah satu eksekutif pentingnya menjadi pimpinan puncak Sampoerna yang baru. Salah satu hasil Rapat Umum Pemegang Saham PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) Mei 2009 lalu adalah mengangkat John Gledhill sebagai direktur utama yang baru menggantikan pejabat sebelumnya, Martin Gray King, yang dipromosikan sebagai Senior Vice President Operations Philip Morris International. Gledhill adalah eksekutif yang telah cukup lama merintis karier di Philip Morris. Sebelumnya ia menjabat sebagai Direktur Pelaksana Philip Morris Limited di Australia.

Meskipun, menurut Gledhill, Philip Morris tidak mematok target khusus kepada dirinya, pria kelahiran Liverpool, Inggris, ini tanpa basa-basi menandaskan ingin mengembangkan posisi HM Sampoerna sebagai pemimpin nomor satu di industri rokok di Indonesia dalam masa kepemimpinannya. Ia merujuk pada pengalaman kerjanya di Philip Morris di berbagai negara selama ini, yaitu tujuan utama pemasaran Philip Morris di banyak negara adalah memenangkan persaingan dan menjadi pemain nomor satu di dunia. “Ada survei yang menempatkan HM Sampoerna pada posisi ketiga dalam industri sigaret Indonesia. Nah, saya akan berusaha meningkatkan posisi perusahaan ini menjadi yang pertama dalam bisnis sigaret di negeri ini. Saya ingin memenangkan persaingan dengan para pesaing kami,” tegasnya.

Menjadi Nomor Satu

Untuk mewujudkan target itu, ada beberapa strategi bisnis yang akan digulirkan Gledhill. Pertama, ia berencana mengembangkan lebih jauh empat merek (brand) andalan Sampoerna, yaitu Sampoerna Hijau, A Mild, Dji Sam Soe, dan Marlboro, menjadi merek yang lebih kuat. “Kami akan gencar melakukan berbagai sosialisasi melalui event dan iklan di berbagai media secara tidak langsung,” ungkap Gledhill

Kedua, Gledhill juga berusaha mengembangkan lebih lanjut filosofi bisnis “Tiga Tangan” yang telah lama dimiliki HM Sampoerna. Tiga Tangan adalah falsafah bisnis yang ditanamkan Liem Seeng Tee, pendiri HM Sampoerna (kakek Putera Sampoerna), dan tercermin dalam logo HM Sampoerna yang tetap digunakan hingga kini. Falsafah Tiga Tangan bermakna bahwa untuk mencapai sukses, tiga pihak, yaitu produsen, pedagang, dan konsumen harus sama-sama berbagi keuntungan. Oleh Gledhill, filosofi Tiga Tangan ini kemudian diterjemahkan bahwa HM Sampoerna hendaknya bisa berkembang bersama-sama masyarakat, karyawan, dan mitra bisnisnya untuk dapat meningkatkan kinerja perusahaan. “Kami akan lebih aktif melakukan aktivitas corporate social responsibility terhadap masyarakat lokal,” papar alumnus INSEAD ini.

Selain itu, Gledhill juga berencana meningkatkan kinerja karyawan HM Sampoerna lebih baik lagi. Ia melihat kekuatan utama HM Sampoerna terletak pada keandalan para karyawannya selama ini. “Namun, karyawan-karyawan berbakat ini perlu diasah lebih lanjut dengan memberi mereka banyak pelatihan sehingga bisa memiliki paduan emas dengan visi HM Sampoerna dan Philip Morris. Memadukan talenta karyawan dengan bisnis perusahaan sangatlah penting,” tutur pria berpostur tinggi dan atletis ini. Gledhill mengaku memiliki prinsip berusaha mempertahankan karyawan dan meningkatkan kemampuan mereka sebisa mungkin. “Namun, jika mereka sulit berubah dan menyesuaikan diri dengan kinerja perusahaan, saya tidak segan-segan memberikan peringatan,” tandasnya.

Ketiga, Gledhill menegaskan dirinya tidak gentar dalam menghadapi pesaing di industri rokok dan akan selalu berusaha menciptakan inovasi baru yang laku keras di pasaran untuk memenangkan persaingan. “Misalnya, Juli ini kami telah mengeluarkan produk sigaret kretek tangan (SKT) Dji Sam Soe Gold. Produk terbaru ini merupakan pengembangan dari sigaret Dji Sam Soe sebelumnya dan menjadi varian ketujuh yang ada di pasar dengan menggunakan tembakau dan cengkeh kualitas nomor satu yang ada di Indonesia,” ungkapnya setengah berpromosi.

Dengan terus berusaha menciptakan produk-produk baru yang dapat memberikan keuntungan lebih besar, Gledhill sangat optimistis dapat meningkatkan pasar HM Sampoerna di Indonesia. Dan, meskipun Philip Morris dikenal sebagai raja rokok putih melalui rokok bermerek Marlboro, Gledhill menyatakan HM Sampoerna akan tetap fokus pada produksi rokok kretek. Tidak hanya berusaha memaksimalkan pangsa pasar produk sigaret kretek tangan, kata dia, tetapi juga pangsa pasar produk sigaret kretek mesin (SKM) HM Sampoerna. “Misalnya, untuk SKT, dua tahun lalu kami memproduksi rokok Dji Sam Soe Magnum, dan itu sekarang berlanjut dengan produk baru Dji Sam Soe Gold. Nah, untuk SKM, kami mengembangkan lebih jauh produk A Mild dengan meluncurkan produk baru bernama Evolution,” ujarnya. Dengan terus berinovasi, Gledhill berharap bisa mempertahankan kepemimpinan pasar HM Sampoerna di semua jenis rokok selama ini, baik SKT maupun SKM.

Tantangan

Kendati demikian, Gledhill mengaku ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi untuk membuat HM Sampoerna menjadi nomor satu. Di antaranya, restriksi atau kontrol pemerintah untuk iklan dan pemasaran rokok, restriksi atau kontrol pemerintah untuk kebiasaan merokok masyarakat terkait masalah kesehatan umum, serta masalah perpajakan dan cukai untuk industri rokok. “Regulasi pemerintah terhadap industri rokok adalah kunci bagi perkembangan industri sigaret ke depan. Saya berharap hal itu dapat komprehensif, akurat, konsisten, dan fair buat industri sigaret,” papar Gledhill.

Bagi Gledhill, regulasi yang dibuat untuk industri rokok hendaknya tidak hanya untuk kepentingan pemerintah saja, tetapi juga memerhatikan kepentingan industri. “Concern saya adalah jangan sampai terjadi unfair regulation,” katanya. Selain itu, tambahnya, peraturan yang dibuat diharapkan juga tidak mudah berubah-ubah dan tidak jelas. “Jadi, hendaknya peraturan-peraturan yang dibuat mendukung iklim usaha atau iklim investasi yang lebih baik bagi industri rokok di negara ini,” jelas pria yang murah senyum ini. Misalnya, tentang usulan Departemen Perindustrian yang baru-baru ini ingin memasukkan industri rokok dalam Daftar Negatif Investasi. “Kami membutuhkan klarifikasi lebih jauh tentang isu ini,” tutur penggemar klub sepak bola Liverpool FC ini.

Menghadapi dilema moral antara bisnis sigaret dan kesehatan manusia, Gledhill berpendapat bahwa konsumsi sigaret harus diiringi dengan kompensasi kepada masyarakat. Hal ini dapat berupa kesadaran segmentasi konsumen sigaret pada usia dan kalangan tertentu. “Memang saya sepakat bahwa sigaret dapat merusak kesehatan. Oleh karena itu, HM Sampoerna selalu memberikan kompensasi kepada masyarakat seperti pendidikan, pelatihan usaha, dan kegiatan sosial,” kata pria yang mengonsumsi sigaret hanya pada saat tertentu alias social smoker ini.

Menurut Gledhill, akan lebih baik bagi HM Sampoerna untuk tetap memiliki budaya lokal meskipun sekarang telah dimiliki perusahaan rokok multinasional. Apalagi jika mengingat pasokan bahan baku sebagian besar berasal dari petani lokal, karyawan yang sebagian besar adalah masyarakat lokal, dan konsumen yang juga sebagian besar adalah masyarakat dalam negeri. “Kami lebih merasa sebagai perusahaan lokal ketimbang perusahaan multinasional,” pungkas Gledhill.

Ditulis Oleh:
WENDY HUTAHAEAN, FEKUM ARIESBOWO W., DAN FADJAR ADRIANTO
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )

Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi Nomor XXI, 2009. Judul asli tulisan ini adalah "Menantang HM Sampoerna Menjadi Nomor Satu"

UU 22 tahun 2001 Dimata Pebisnis


UU 22 tahun 2001 Dimata Pebisnis

UU 22 tahun 2001 Dimata Pebisnis
Jumat, 16 Oktober 2009 17:26


Sammy Hamzah, wakil presiden Indonesian Petroleum Organization (IPA) dan ketua Komisi Tetap Migas Kadin memberikan pendapatnya tentang perubahan UU 22 tahun 2001 dalam wawancara ekskusif kepada Wendy S Hutahaean, wartawan Warta Ekonomi, di kantor Ephindo daerah Sudirman pada beberapa waktu lalu.

Apa masalah yang menyebabkan UU 22 tahun 2001 tentang Migas diusulkan untuk direvisi?

Jika dilihat UU 22 ada masalah yang sifanya struktural seperti posisi BP Migas yang lansung melapor ke presiden, padahal seharusnya mereka harus berkoordinasi dengan Menteri ESDM terlebih dahulu. Di samping itu, masalah isi UU itu sendiri terletak pada Pajak Eksplorasi dan Pajak Pertambahan Nilai. Di sini terdapat perbedaan penerapan, dalam UU nya industri Migas dikenai pajak seperti industri lain. Namun pada kenyataannya, negara masih sangat mengandalkan devisa dari industri Migas. Jika diberlakukan pajak seperti industri lain, maka industri Migas akan sulit berkembang. Seperti yang kita ketahui bahwa pajak eksplorasi berasal dariuang resiko investor, dimana kemungkinan berhasilnya suatu projek Migas adalah 30%. Jika resiko bisnisnya tinggi ditambah pajak yang tinggi juga, akan sulit bagi para investor untuk bertahan.

UU 22 sebenarnya dibuat menggantikan UU 11/1971 untuk mengalihkan fungsi Pertamina dari regulator sekaligus pemain menjadi hanya sekedar pemain, walaupun dengan beberapa keistimewaan. Lebih jelasnya, UU 22/2001 tersebut menjadikan Pertamina hanya sebagai pemain biasa dan BP Migas sebagai regulator. Namun, saat ini banyak timbul pertanyaan tentang perlunya BP Migas dan haruskah Pertamina dikembalikan fungsinya yang lama. Memang di negara lain dikenal sistem PHD, yaitu dipisahkan antara regulator dan BUMN pemain seperti di Malaysia.

Bagi kami, sebnarnya tidak ada masalah siapa yang menjadi regulator, namun yang penting adalah kejelasan dan kontinuitas Undang-Undang ini. Masyarakat umum terkadang salah persepsi tentang siapa regulator, manajemen dan pemain dalam industri migas ini. Saat ini, yang menjadi regulator adalah Dirjen Migas sebagai pembuat UU dan BP Migas berperan sebagai pengawas serta wakil pemerintah. Dalam prakteknya, investor ingin menjalin hubungan saling percaya dengan BP Migas. Sebaiknya, perusahaan minyak jangan diawasi terlalu detail, karena itu akan menghambat kinerjanya secara tidak lansung. Rasa saling percaya antara pemerintah dan investor ini juga akan lebih memudahkan BP Migas dalam melaksanakan tugasnya.

Banyak analis yang percaya bahwa lebih baik kembali ke fungsi Pertamina yang lama yang mempunyai fungsi ganda. Namun, menurut saya hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan produksi minyak di Indonesia. Hal ini diakibatkan ke\arena kesalahan bukan pada terletak struktur UU namun pada prakteknya. Sebenarnya, investor juga ingin Pertamina dapat bersaing secara sehat dengan pemain lainnya. Jadi, pada intinya tujuan KomIsi VII itu revisi UU 22/2001 bukanlah tindakan yang tepat.

Apakah turunnya produksi Migas di Indonesia akhir-akhir ini diakibatkan oleh UU Migas 22/2001?

Penurunan produksi minyak secara alamiah terjadi karena eksploitasi minyak di Indonesia masih berkutat di lahan-lahan tua sekitar 80%-90%. Penurunan ini sangat menghawatirkan dan drastis sekali. Kontrak yang disepakati selama ini belum ada yang menyentuh lahan-lahan eksplorasi minyak yang baru. Sedangkan untuk eksploitasi lahan tua, biaya perawannya sanga mahal. Kita mengenal primary recovery, secondary recovery dan tertiary recovery.

Yang kedua adalah permasalahan kurangnya insentif yang diberikan pemerintah. Selain itu, terdapat kontradiksi peraturan yang membuat investor enggan menanamkan modal di Indonesia. Jika kita perhatikan nilai replacement ratio, yaitu jumlah minyak yang diproduksi dibandingkan minyak yang ditemukan, Indonesia masih sangat kecil. Jadi UU Migas bukanlah menjadi penyebab utama turunnya produksi minyak di Indonesia.

Apakah sistem birokrasi di Indonesia turut memberatkan investor khususnya dalam hal Migas?

Banyak yang mengusulkan agar Dirjen Migas dijadikan satu dengan BP Migas agar lebih efisisen. Namun hal tersebut bukanlah menjadi masalah utama investasi di Indonesia. Kurang terjalinnya koordinasi anatara pemerintah pusat, department dan pemerintah daerah khusunya pasca Otonomi daerah perlu segera diperbaiki agar iklim investasi di Indonesia lebih meningkat.

Apakah kenaikan harga minyak saat hanya akan menguntungkan investor dan membuat pemerintah rugi?

Sebenarnya yang membuat pemerintah merasa rugi jika harga minyak minyak naik adalah masalah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah yang lebih besar. Jika pemerintah menghapus subsidi minyak, yang memang lebih bermuatan Keberatan pemerintah akibat pemerintah harus mengeluarkan subsisdi lebih bermuatan politik daripada ekonomi, maka tidak ada yang merasa dirugikan. Dua tahu lalu kita masih menjadi anggota OPEC, namun saat ini Indonesia menjadi importer minyak.

Sebenarnya, investor asing masih menganggap Indonesia masih menjadi lahan potensial secara geolohgis. Namun masih banyak lapangan yang dapat dieksplorasi walaupun tidak selandai Cepu seperti lautan dalam, pedalaman Papua. Yang paling penting adalah bagaimana menarik investor agar melakukan eksplorasi di wilayah indonesia.

Mengapa Pertamina hanya dapat menempati posisi kedua dalam produksi minyak di Indonesia?

Sebenarnya potensi Pertamina sangat besar, namun kurang dimaksimalkan. Saya pribadi juga sangat ingin perusahaan nasional lebih berperan di negara ini. Aset pertmaina masih banyak yang puluhan bahkan ratusan juta barrel. Bayangkan kalau dikembangkan saat harga minyak seratusan juta barrel pasti produksinya melimpah. Kalau bisa perusahaan nasional yang mengelola sumber adaya alam kita yang melimpah agar pemasukannya ke negara. Namun sifat indonesia yang cenderng liberal tidak membantu pertamina dalam penguasaannya. KADIN juga ingin melihat potensi dan porsi perusahaan nasional dan international. Sudah saatnya dilihat dan dikembangkan secara serius.

Bagaimana kinerja keuangan Pertamina? Mengapa dari pendapatan Rp400 triliun, 75% dialokasikan hanya untuk membeli minyak dari perusahaan asing?

Memang Pertamina bukan dalam posisi yag gampang. Hal ini karena perusahaan ini juga diandalkan sebagai agen sosial seperti untuk tujuan distribusi dan subsisdi oleh pemerintah. Kalau ingin meningkatkan keuangan dan kinerjanya seharusnya merka diberi keleluasaan dan bantuan agar Pertamina dapat berkembang dengan normal sebagai pemain minyak dan dapat berkompetisi dengan perusahaan minyak asing.

Mengapa Pertamina sering kalah tender, contohnya Exxon bisa mengalahkan Pertamina dalam pengelilaan Blok Cepu?

Tindakan pemerintah yang lebih cenderung mendukung perusahaan minyak asing karena anggapan bahwa perusahaan asing lebih bersih dari KKN dan cenderung memperketat pengawasan terhadap Pertamina dalam hal tender. Bahkan lebih gampang perusahaan asing bekerja dengan pemerintah daripada perusahaan nasional. Sebenarnya, pemerintah harus konsekuen jika ingin Pertamina dan perusahaan minyak nasional berkembang. Bahkan BP Migas yang berusaha menggalakkan perusahaan nasional kurang kelihatan kinerjanya karena hal tersebut.

Jika keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan minyak asing ini terus berlanjut, maka ini akan menyebabkan perusahaan asing merasa dininabobokkan. Pemerintah harui lebih serius dan selektif dalam memilih perusahaan yang benar-benar ingin mengelola khusunya dalam hal eksplorasi. Perusahaan minyak nasional juga harus diberdayakan dan didukung.

Apakah Biaya Recovery Indonesia yang senilai US$9/barrel dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia senilai US$8/barrel diakibatkan oleh BP Migas?

Sungguh tidak bijak jika mengatakan melonjaknya cost recovery karena BP Migas. Namun hanya disebabkan kita hanya meraup dari lapangan-lapangan tua lebih dari 80%, sehingga biaya nya naik produksinya. Maintenance sangat tinggi. Secara alami biaya kita akan naik. BP Migas memang mengusulkan agar biaya recovery dibatasi, namun hal ini hanya merupakan dampak dari kepanikan dari turunnya produksi minyak di Indonesia. Padahal kalau dibatasi cost recovery, produksinya akan turun. Namun yang paling penting adalah pengendalikan biayanya, dimana para pemain yang nakal. Permaslahannya bukan cost recovery, tapi replacement yang di bawah satu persen, itu akan dirasakan bebannya oleh anak cucu kita. Eksplorasi yang kurang dan produksi yang menurun. Menurut saya harus dilihat gambaran besarnya.

Bagaimana kemungkinan revisi UU Migas ke depan untuk memperbaiki investasi migas ke depan?

Pemerintah harus sadar bahwa investasi adalah kunci utama. Jika pemerintah merasa kuata taapa investor, lakukan sendiri. Namun jika mmasih membutuhkan investor, maka harus didukung. Mengapa banytak investor yang lari ke luar negeri. Semoga uu 22/2001 berubah menjadi lebih baik. Agar para investor menanamkan dananya lebih baik lagi. Pajak akan diklarifikasi lagi.

Apakah peran BP Migas apakah harus diubah?

Permasalahan bukan hilang atau tidaknya peran bp migas. Namun dalam prakteknya, fungsi pengawasan tidak terlealu membebani, namun dari yang mengawasi dan yang diawasi. kita sering protes masalah hukum, peratruran yang tidak benar, padahal pelaksanaan pada prakteknya yang salah. Lebih baik pemerintah yang mengeluarkan duit untuk eksplorasi. Namun apakah pemerintah sudah kaya . Namun apakah pertamina sudah siapa mengelola kedua posisi tersebut. Dengan kembalinya peran ganda Pertamina akan memusingkan Pertamina yang saat ini bertekad menjadi pemain minyak dunia. Pengembalian fungsi ganda tersebut itu perlu dipertimbangkan matang-matang.

Bagaimanakah kualitas pegawai pertamina dan pegawai asing?

Secara teknis banyak orang pintar teknologi pertamina. Namun dari segi wirausaha masih kurang spiritnya. Keuntungan perusahaan asing adalah mereka membawa profesionalisme wirausaha dari negara mereka. Hal itu masih menjadi sesuatu yang jamak bagi perusahaan nasional. Kita bisa lihat contoh penegakan peraturan di perusahaan asing dan bumn, lebih konsekuen di perusahaan asing. Sebenarnaya warga indonesia bisa profesional asalkan mau konsekuen. Banyak teknisi dan geiolog kita sangat hebat dan diterima di negara lain.

Apakah menurut Anda Indonesia sebagai negera berkembang hanya dimanfaatkan oleh negara maju untuk kepentingan mereka?

Sebenarnya kita kita harus bercermin. Sudah saatnya kita mengembangkan industri lain yang sebenarnya dapat lebih besar daripada industri migas. Sehingga indonesia tidak tergantung pada industri migas dan pemerintah beranggapan migas masih menjadi tumpuan. Sehingga apapun yang terjadi dengan harga minyak, Indonesia tidak terpengaruh.

Tidak benar perusahaan asing mengeksploitasi secara berlebihan. Malah seharusnya kita bersyukur mereka masih mau berinvestasi di Indonesia adan melihat itu sebagai yang masih menarik. Potensinya perlu diasah dan diberi ruang gerak nasionalisasi yang sehat. Nasionalisasi pada saat yang tepat dan jangka panjang harus perhatikan. Jangan anggap kita tidak emebutuhkan bangsa lain, sebaliknya ketergantungan saling dengan negara lain agara saling membangun.

Ditulis Oleh:
WENDY HUTAHAEAN
( wendy@wartaekonomi.co.id Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )

Jasa Keamanan Indonesia Dilirik Timur Tengah


Jasa Keamanan Indonesia Dilirik Timur Tengah

Jasa Keamanan Indonesia Dilirik Timur Tengah
Sabtu, 14 November 2009 06:03


Potensi bisnis jasa keamanan di Indonesia masih sangat besar lantaran ruang lingkup Indonesia sangat luas yang didorong kebutuhan dari perusahaan nasional dan multinasional. Begitupula permintaan jasa ini masih besar dari negara-negara lain seperti Timur Tengah.

“Selain itu, masih banyak aspek security yang dapat digali di Indonesia dengan wilayahnya yang luas dan jenis usaha yang beragam, “ kata Jeffrey J.A. Baadilah, presdir PT Gardatama Nusantara kepada Wendy Hutahaean dari WartaEkonomi pada beberapa waktu lalu. Berikut petikannya.

Pendapat Anda tentang peristiwa pengeboman di dua hotel yang pengamanannya sangat ketat?

Sistem pengamanan di Indonesia belum dapat dikatakan ketat, khususnya di hotel. Pemeriksaan masih sebatas tamu dan itupun belum maksimal. Contohnya jika berhadapan dengan orang penting, petugas security cenderung meloloskan dan segan untuk memeriksa barang maupun mobil mereka.

Padahal, prosedur security seharusnya dilakukan tanpa pandang buluh termasuk teman, keluarga dan orang yang kita kenal sekalipun. Di samping itu, tindakan preventif terhadap setiap barang yang masuk ke dalam hotel seperti mobil supplier yang membawa makanan (catering), barang-barang pemeliharaan (house keeping) atau bunga (florist).

Padahal saluran tersebut juga berpotensi menjadi saluran bagi bahan peledak atau bom. Kita dapat melihat hotel-hotel besar di Jakarta sebagai contohnya Hyatt Hotel yang secara kasat mata dirasa aman melalui pagar besi yang dapat emncegar bom melalui mobil. Namun security masih kurang menyentuh aspek lain seperti mobil catering atau florist yang sebenarnya dapat berpotensi sebagai sumber bom.

Petugas security juga harus dilatih untuk bertindak sopan dalam memeriksa para tamu dan supplier yang masuk ke hotel. Hal ini diperlukan agar para tamu bersedia dengan senang hati untuk diperiksa dan bersikap kooperatif. Petugas juga harus menjalankan pemeriksaan sesuai prosedur agar nilai service dan secutiry dapat seimbang sehingga tamu tetap meras nyaman.

Perlu ditekankan rasa sensitivitas dan kecutigaan kepada petugas security jika ditemui kejanggalan. Pihak hotel juga harus mengetahui betul setiap karyawan sampai tenaga outsourcing agar dapat dideteksi tindakan terorisme sejak dini.
Pada umumnya sistem keamanan

Apakah ada peningkatan order pascapengeboman tersebut?

Ada beberapa surat-surat permintaan untuk mengawal CEO khususnya asing dan juga rumah mereka seperti dari General Motor dan beberapa perusahaan besar lainnya. Pada umumnya dapat dilihat peningkatan order.

Bagaimana tren dan prospek bisnis jasa keamanan ke depan?

Ada banyak permintaan dari negara lain seperti dari Timur Tengah terhadap tenaga security dari Indonesia karena cenderung murah. Selain itu, masih banyak aspek security yang dapat digali di Indonesia dengan wilayahnya yang luas dan jenis usaha yang beragam.

Bomb detektor dan anjing pelacak (K9) untuk yang dilatih khusus membaui bahan peledak nonmetal seperti yang sudah diterapkan di Riau. Kita harus memiliki analisa kewaspadaan dalam mengawasi hal-hal yang aneh.

Berapa besar potensi bisnis ini?

Potensi bisnis di Indonesia sangat besar karena ruang lingkup Indonesia yang sangat luas dimana tersebar perusahaan-perusahaan besar nasional maupun multinasional. Mereka tentu membutuhkan pengamanan terhadap asset perusahaan

Ada berapa banyak pelaku di industri ini? Siapa yang paling nomor satu?

Ada 400 perusahaan security se-Indonesia yang terdaftar di kepolisisan RI. Lebih dari 280,000 jumlah petugas security. Gardatama Nusantara memilki 4,000 security dan pada tahun 2007 mendapat penghargaan Kapolri sebagai tiga perusahaan terbaik di Indonesia. Perusahaan ini juga menjadi yang pertama mendapat ISO 9001 (manajemen mutu) dan ODHAS 18001 (manajemen keamanan dan keselamatan). Hal tersebut membuat banyak perusahaan asing lebih meilih perusahaan ini.

Perusahaan anda menguasai berapa besar market share (pangsa pasar) di industri ini?

Sejak 2004 jumlah personil security meningkat dari 2,000 orang menjadi dua kali lipat pada tahun 2009. Kalo dari sektor perusahaan energi atau migas, perusahaan ini menguasai klien 20% di seluruh indonesia khususnya perusahaan besar. Hal ini akan terus meningkat di tahun depan.

Apa spesialis jasa keamanan yang perusahaan ini miliki?

Ada enam bidang jasa yaitu penyediaan tenaga keamanan, konsultasi keamanan, bantuan penyelamatan, pendidikan dan latihan keamanan, penerapan peralatan keamanan, kawal angkut uang dan barang berharga. Sejauh ini. penyediaan tenaga pengamanan merupakan unggulan perusahaan ini.

Seperti apa tren perangkat-perangkat keamanan ke depan?

Saat ini, sangat diperlukan anjing pelacak K9 yang dapat membaui bahan peledak nonmetal selain bom detektor metal yang canggih. Gardatama juga telah menggunakan Night Vission impor luar negeri generasi keempat yang bisa mendeteksi setiap gerakan di area lapangan dan setiap objek yang melewati pagar. CCTV yang dapat menontrol area yang luas seperti areal pertambangan dan perusahaan. Perusahaan ini juga mengembangkan alat pendeteksi mobil yang langsung terhubung dengan satelit atau GPS untuk mendeteksi lokasi setiap mobil patroli security dan kegiatannya. Peralatan Speed Gun dan Night Google serta petugas yang menguasai alat canggih tersebut merupakan tuntutan keamanan. Gas Detector yang dapat mendeteksi gas eracun maupun bom gas juga penting.

Apa saja yang akan perusahaan Anda kembangkan terkait dengan perangkat keamanan?

Sejauh ini kami selalu menawarkan peralatan keamanan yang canggih kepada konsumen, namun kebanyakan konsumen lebih memperhatikan harga dan lebih fokus kepada tenaga security daripada peralatan, sehingga survei potensi peralatan perlu dilakukan untuk menyesuaikan dengan budget yang dimiliki konsumen.

Perusahaan asing lebih rela mengeluarkan dana lebih untuk keperluan keamanan dibandingkan perusahaan lokal. Di samping itu, para petugas wajib dilatih untuk menggunakan perlatan canggih tersebut karena teroris selalu berusaha mencari berbagai cara untuk mengelabui petugas.

Dari negara mana saja barang-barang itu didapatkan? Berapa harganya?

Kita selalu mengadakan survei peralatan baik dari speifikasi maupun harganya. Kebanyakan peralatan seperti Night Google, Night Vision dan Bomb Detector diimpor dari Amerika Serikat selain Korea, Jepang dan Eropa. Perusahaan ini pernah mencoba Night Google buatan Rusia tetapi kurang bagus. Masalah harga bisanya tergantung kebutuhan konsumen, tapi pada umumnya dibayar dalam dolar.

Berapa besar investasi yang akan dialokasikan untuk pengembangan bisnis jasa keamanan pada tahun ini?

Investasi peralatan tergantung kebutuhan klien per projek. Sebagai contoh, projek PT Total selama dua bulan bernilai lebih dari Rp4 miliar dan membutuhkan 200 tenaga keamanan selama. Belum lagi untuk project dua sampai tiga tahun seperti PT Chevron Pacific Indonesia yang bernilai lebih. Perusahaan yang paling investasinya sampai milyaran yaitu PT Chevron dan PT Total.

Siapa saja klien-klien Anda?

Klien Gardatama Nusantara di jakarta kebanyakan perumahan dan sekolah elit. Beberapa pusat perbelanjaan seperti Mal WTC adn Plaza Sudirman juga menjadi klien kami. Perusahaan ini lebih fokus kepada industri Minyak dan Gas skala besar seperti Schlumber, Pertamina, Total, Jambi Merang, dan Haliburton.

Bagaimana perkembangan perusahaan ini?

Pada awal perusahaan ini dirintis, hasil audit keuangan dan aset menunjukkan minus 9,1. Namun sekarang bertumbuh lebih dari dua kali lipat.

Ke depan, perusahaan ini Ingin membagun sekolah pembinaan tenaga security di Yogyakarta yang lebih melatih tingkat sensitivitas dan psikologis para pertugas. Selain itu, kami akan menyalurkan tenaga security ke luar negeri dengan pelatihan tersebut ke negara lain seperti Arab Saudi dan Dubai.

Bidang usaha juga dikembangkan ke arah IT Security karena tren keamanan jaringan informasi perusahaan menunjukkan tren kebutuhan yang cukup baik di masa depan.

Ditulis Oleh:
WENDY HUTAHAEAN
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )

Beda Jurus Kesehatan Thailand dan Malaysia


Beda Jurus Kesehatan Thailand dan Malaysia

Beda Jurus Thailand dan Malaysia
Minggu, 03 Januari 2010 18:03


Penduduk Thailand hanya membayar 30 baht (Rp6.000) untuk sekali berobat atau dirawat di RS. Sementara di Malaysia, tiap pasien Malaysia yang memerlukan perawatan di RS pemerintah Malaysia hanya membayar RM3 (setara dengan Rp6.500) sehari.

Praktek dokter di sebuah rumah sakit (RS) merupakan cermin kualitas pelayanan rumah sakit tersebut. Celakanya, belakangan ini banyak keluhan masyarakat muncul tentang buruknya akses masyarakat terhadap pelayanan dokter di RS. Banyak pasien merasa sudah membayar sedemikian mahal layanan kesehatan di RS, tetapi toh pelayanannya kurang memuaskan. Apakah kejadian semacam ini juga jamak terjadi di negara-negara tetangga kita?

Ada baiknya kita menengok sejenak potret layanan kesehatan di Thailand dan Malaysia. Untuk layanan kesehatan masyarakatnya, pemerintah Thailand menerapkan "30 Baht Policy". Negeri Seribu Gajah itu tidak jauh lebih kaya dari Indonesia, tetapi negeri itu mampu membuat kebijakan kesehatan yang "pro rakyat". Dengan kebijakan 30 baht (setara dengan Rp6.000), pemerintah menjamin seluruh penduduk negeri itu mampu memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Penduduk yang pegawai negeri atau karyawan swasta dijamin melalui sistem jaminan sosial, sedangkan sektor informal hanya membayar 30 baht untuk sekali berobat atau dirawat di RS. Meski seorang penduduk harus masuk ICU satu minggu (jika ini terjadi di Indonesia, seorang pasien harus membayar Rp10 juta lebih), penduduk Thailand hanya membayar 30 baht. Jumlah itu sudah termasuk jasa dokter, biaya laboratorium, rontgen, operasi, atau obat-obatan.

Bagaimana mungkin? Sistemnya sederhana. Prinsipnya, semua rakyat harus bisa memperoleh pelayanan di RS sesuai penyakitnya, tidak peduli miskin atau kaya. Pemerintah membayar RS sebesar 1.204 baht (sekitar Rp240.000) per orang per tahun sesuai jumlah orang yang mendaftar ke RS itu tanpa memperhatikan jumlah yang sakit. Cara pembayaran ini disebut kapitasi. Dokter di RS bekerja purnawaktu (tidak boleh berpraktek di berbagai RS) sehingga setiap saat pasien bisa menemuinya. Inilah sistem kebijakan kesehatan yang sehat menurut kacamata rakyat.

Kebijakan Layanan Kesehatan di Malaysia

Di Malaysia sistemnya sedikit berbeda. Dokter di RS pemerintah juga bekerja purnawaktu, tidak boleh praktek pribadi, baik di RS yang sama maupun swasta, sehingga dokter selalu tersedia setiap saat. Namun, berbeda dengan di Thailand, seluruh biaya RS dan gaji dokter dibiayai dari anggaran Departemen Kesehatan Malaysia. Dokter mendapat gaji layak, tidak besar, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang dokter serta mencicil rumah dan mobil.

Tiap pasien yang memerlukan perawatan di RS pemerintah Malaysia hanya membayar RM3 sehari (setara dengan Rp6.500). Jumlah yang harus dibayar pasien tidak tergantung pada jenis pelayanan yang diterimanya, karena semua biaya perawatan di ICU, operasi, ataupun obat-obatan sudah termasuk yang dibayarkan. Kualitas pelayanannya bisa dibilang baik, tidak banyak berbeda dengan pelayanan RS swasta di sana. Sementara itu, di RS swasta Malaysia ada tarif untuk tiap jenis pelayanan (istilah teknisnya, tarif fee for service). Pasien di RS swasta juga tidak harus kecewa karena dokternya sedang praktek di RS lain atau biaya terlalu mahal. Dokter di RS swasta juga bekerja purnawaktu, jadi selalu tersedia bagi pasien yang membutuhkan.

Ikatan Dokter Malaysia bersama Departemen Kesehatan Malaysia membuat daftar tarif maksimum. Dengan demikian, dokter dan RS swasta tidak seenaknya menetapkan tarif. Tidak ada beda jasa dokter di kelas III dan kelas VIP seperti yang terjadi di Indonesia. Biaya operasi jantung di Malaysia jauh lebih murah daripada di Indonesia, baik di RS pemerintah maupun swasta, karena ada batas tarif. Biaya operasi jantung di Kuala Lumpur sekitar Rp40‒50 juta (rata-rata RM22.000), sedangkan di RS lain sekitar Rp60 juta. Di Jakarta, untuk bedah jantung harus membayar Rp150 juta. Akan tetapi, penduduk Malaysia yang perlu operasi jantung di RS di sana hanya membayar RM10 untuk sehari perawatan. Ini juga contoh sistem pelayanan RS yang sehat bagi rakyat.

Jadi, bandingkan dengan pelayanan kesehatan di RS kita, baik swasta maupun pemerintah, yang terlihat lemah dalam mengutamakan kepentingan pasien. Amat sedikit dokter bekerja purnawaktu, baik di RS pemerintah (meski berstatus PNS tetap di situ) maupun swasta. Sebagian besar dokter bekerja serba sambilan di tiap RS sehingga pelayanan kepada pasien tidak memuaskan. Ini terkait dengan sistem pendidikan dokter, penempatan dokter, penggajian dokter, dan lemahnya pengaturan pemerintah dalam melindungi pasien. Karena alasan gaji tidak memadai, dokter melayani pasien swasta di berbagai RS. Pasien tidak mendapat perlindungan memadai, dokter dan RS dapat menetapkan tarif sendiri. Tidak ada tarif standar. Tarif pelayanan kesehatan yang dibutuhkan seluruh penduduk tidak diatur.

Pada era reformasi, pemerintah justru mengubah rumah sakitnya menjadi BUMN. Akibatnya, dikhawatirkan tarifnya kian mahal. Harga obat dan bahan medis juga tidak dikontrol. Padahal, sistem jaminan kesehatan belum tersedia bagi semua. Program bantuan biaya kesehatan bagi penduduk miskin amat tidak memadai. Jadi, jangan heran jika makin banyak masyarakat mengeluh tentang kualitas dan biaya layanan kesehatan di negara ini.

Indikator Dukungan Pemerintah terhadap Pelayanan Kesehatan

Menurut survei PriceWaterhouse Coopers, Indonesia membelanjakan US$19,1 per kapita per tahun untuk pemeliharaan kesehatan, atau sekitar 1,7% dari produk domestik bruto (PDB). Bandingkan dengan Malaysia (US$97,3 atau 2,4% PDB), Thailand (US$108,5 atau 4,3% PDB), Singapura (US$667 atau 3,5% PDB), dan Taiwan (US$623,8 atau 4,8% PDB). Pada waktu itu, PDB per kapita Indonesia diperhitungkan sebesar US$1.080.

Laporan itu juga mengatakan, harapan untuk hidup (life expectancy) Indonesia adalah yang terendah dibanding negara-negara itu, yaitu 68 tahun. Rasio tempat tidur dibanding jumlah penduduk juga terendah, yaitu 0,6 per 1.000. Adapun penyebab kematian di Indonesia ternyata justru penyakit-penyakit yang sebenarnya telah diketahui cara diagnosis dan terapinya, yaitu infeksi alat pernapasan (15,15%) dan TBC (11,5%). Sedangkan di negara-negara tetangga kita, penyebab kematian utama adalah kanker atau cardiovascular, yang merupakan penyakit-penyakit yang lebih sulit pengobatannya.

Cakupan kepesertaan penduduk Indonesia dalam program jaminan sosial sektor kesehatan (compulsory coverage, semacam asuransi kesehatan wajib/sosial) juga terendah, yaitu sekitar 15%. Bandingkan dengan Thailand, yang telah mencapai 56%, dan Taiwan yang 96%. Rendahnya cakupan kepesertaan dalam program asuransi kesehatan, ternyata juga menyebabkan inefisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Meski Indonesia hanya membelanjakan sekitar US$10 per kapita per tahun untuk obat-obatan, sementara Taiwan sekitar US$83, pemakaian obat generik di Indonesia hanya mencapai sekitar 10%, sedangkan di Taiwan mencapai sekitar 70%. Itu sebabnya, dengan kepesertaan sekitar 96% penduduk dalam program asuransi kesehatan (sosial), Taiwan dapat menyelenggarakan standarisasi pelayanan, termasuk obat, sehingga dana yang tersedia dapat dimanfaatkan lebih efisien.

Itulah sedikit gambaran mengapa belanja kesehatan Indonesia adalah yang terendah. Dampaknya, ada keterbatasan membangun sarana kesehatan bagi rakyat dan sudah tentu berpengaruh pada status kesehatan rakyat. Meski status kesehatan tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan dana, masalah mobilisasi dana untuk pembiayaan kesehatan di Indonesia tampaknya makin mendesak.

Ditulis Oleh:
WENDY HUTAHAEAN
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )

Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi No 17 tahun XXI. Judul asli tulisan ini adalah "Beda Jurus Thailand dan Malaysia."

Arus Kedatangan Eksekutif India Jelas Mengancam Keberadaan Eksekutif Lokal (Marzuki Usman/ Chairman ECAII)


Arus Kedatangan Eksekutif India Jelas Mengancam Keberadaan Eksekutif Lokal (Marzuki Usman/ Chairman ECAII)

Arus Kedatangan Eksekutif India Jelas Mengancam Keberadaan Eksekutif Lokal
Selasa, 05 Januari 2010 08:16

Berdiri sejak 1978, Economic Association of Indonesia and India (ECAII) merupakan asosiasi perusahaan dan profesional yang tertarik untuk mempromosikan kegiatan ekonomi dan bisnis antara Indonesia dan India.

Sebagai chairman ECAII, Marzuki Usman juga melihat adanya peningkatan arus masuknya para eksekutif asal India dalam lima tahun belakangan ini dengan keahlian di berbagai bidang, terutama di bidang perbankan dan teknologi. Dunia eksekutif di Indonesia makin diwarnai oleh kehadiran mereka. Menimbang kompetensi kelas dunia eksekutif India di bidang perbankan dan teknologi, mantan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ini memperkirakan bisa jadi eksekutif India kelak mendominasi dunia perbankan dan teknologi di Indonesia.

Untuk itu, Marzuki mewanti-wanti para eksekutif lokal Indonesia untuk segera meningkatkan kompetensinya hingga bisa berstandar internasional. Misalnya, untuk kalangan bankir lokal. Ia khawatir, karena kompetensi para bankir di Indonesia belum banyak yang bertaraf internasional, dalam lima tahun ke depan para bankir swasta Indonesia bisa jadi hanya mampu bertengger di posisi manajerial. “Sebagai contoh, gelar Financial Investment Bank (FIB) bertaraf internasional sudah banyak dimiliki oleh bankir India, sedangkan bankir Indonesia belum satu pun yang memiliki sertifikasi internasional semacam ini,” ungkapnya. Berikut penjelasan lebih lanjut Marzuki kepada Wendy S. Hutahaean dari Warta Ekonomi melalui telepon, Selasa (2/9). Petikannya:

Apakah Anda melihat adanya peningkatan arus eksekutif India ke Indonesia belakangan ini?

Arus globalisasi saat ini makin menghilangkan batas-batas negara dalam merekrut tenaga kerja. Perusahaan saat ini lebih cenderung memilih eksekutif yang mampu memberikan laba yang maksimal kepada perusahaan dengan biaya seminimal mungkin. Eksekutif India, jika dilihat dari sisi kualitasnya, sudah dapat disejajarkan dengan eksekutif Amerika dan Eropa karena pendidikan dan pengalaman kerja yang sudah bertaraf internasional. Para eksekutif India cenderung bersedia dibayar lebih murah daripada eksekutif Amerika, Eropa, bahkan juga dibandingkan eksekutif lokal Indonesia. Hal inilah yang menjadi penyebab utama banyak perusahaan lebih memilih eksekutif India daripada eksekutif Amerika atau Eropa, apalagi eksekutif Indonesia yang notabene latar belakang pendidikan dan pengalamannya pada umumnya masih bertaraf lokal atau regional.

Apa saja keunggulan eksekutif India dibanding eksekutif Indonesia? Apakah arus kedatangan eksekutif India di Indonesia akan mengancam keberadaan eksekutif lokal Indonesia?

Ya, jelas mengancam. Keunggulan negosiasi dalam bahasa Inggris yang dimiliki para eksekutif India jarang dimiliki oleh para eksekutif Indonesia. Pendidikan dini sampai pendidikan tinggi di India pada umumnya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Prinsip bisnis Eropa dan Amerika juga sudah mulai ditanamkan di bangku sekolah. Kebanyakan eksekutif India pernah bekerja di beberapa negara dan mempelajari berbagai macam sistem ekonomi di dunia sehingga dalam mengambil keputusan tidak hanya bersifat lokal, tetapi mempertimbangkan kebutuhan global. Sedangkan eksekutif Indonesia jarang yang seperti itu.

Dari segi kualitas pribadi, para eksekutif India lebih memiliki loyalitas yang tinggi, integritas, dan bekerja lebih efisien. Walaupun rela dibayar murah pada awal kariernya, mereka akan membuktikan bahwa kinerja mereka bisa lebih baik daripada eksekutif Amerika dan bahkan eksekutif lokal. Perusahaan akan melihat kinerja tersebut dan dengan senang hati menaikkan gaji mereka secara bertahap. Selain kompetensi yang rendah, para eksekutif Indonesia pada umumnya lebih menyukai pekerjaan yang stabil. Para eksekutif India senang menerima tantangan pada bidang pekerjaan yang beragam. Hal tersebut akan mengancam keberadaan eksekutif lokal.

Bidang apa saja yang didominasi para eksekutif India?

Keunggulan pendidikan teknologi informasi (TI) di India juga menjadikan banyak warga India yang terjun ke bidang TI dan sukses di berbagai negara, termasuk Amerika. Di dunia perbankan sendiri banyak bank yang lebih memilih eksekutif India ketimbang eksekutif Amerika yang cenderung lebih mahal dengan kualitas yang sama. Beberapa posisi CEO bank seperti Citibank, Standard Chartered, HSBC, dan ANZ juga ditempati oleh warga India. Jika dibandingkan dengan para eksekutif Indonesia, pendidikan perbankan para eksekutif India sudah setara dengan Amerika dan Eropa. Sebagai contoh, gelar Financial Investment Bank (FIB) bertaraf internasional sudah banyak dimiliki oleh bankir India, sedangkan bankir Indonesia belum satu pun yang memiliki sertifikasi internasional semacam itu. Dengan gelar dan kemampuan tersebut, banyak bank multinasional lebih memilih merekrut bankir India.

Apakah faktor yang menyebabkan para eksekutif India membanjiri Indonesia?

Persaingan yang ketat dalam mencari pekerjaan di India menyebabkan banyak eksekutif yang memilih mengembangkan kariernya di luar India. Para eksekutif yang memiliki kualifikasi terbaik akan menguasai bisnis di India dengan beberapa cabang di negara lain, sedangkan mereka yang kualifikasinya lebih rendah akan memilih mengembangkan karier di luar India. Namun, yang dimaksud lebih rendah di sini tetap dalam koridor taraf internasional.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi India yang stabil mendorong investasi perusahaan-perusahaan India di berbagai negara dan mereka lebih memilih merekrut eksekutif India. Walaupun biaya untuk mendatangkan para eksekutif dari India terbilang mahal dibandingkan merekrut eksekutif lokal, tetapi risiko merekrut eksekutif Indonesia jarang diambil oleh perusahaan investasi India di Indonesia.

Ditulis Oleh:
WENDY HUTAHAEAN
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )

Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi No 18 tahun XXI. Judul asli tulisan ini adalah "Arus Kedatangan Eksekutif India Jelas Mengancam Keberadaan Eksekutif Lokal."

Eksekutif Indonesia Kurang Berani Menghadapi Tantangan Baru (BP Banka/ CEO Ispat Indo)


Eksekutif Indonesia Kurang Berani Menghadapi Tantangan Baru (BP Banka/ CEO Ispat Indo)

Eksekutif Indonesia Kurang Berani Menghadapi Tantangan Baru
Rabu, 06 Januari 2010 08:07

altDi antara beberapa eksekutif puncak asal India yang sukses berkarier di Indonesia, muncul nama Baldeo Prasad Banka. Sarjana hukum dan penyandang gelar master di bidang commerce ini adalah orang nomor satu PT Ispat Indo yang bergerak di industri baja dan bermarkas di Sidoarjo, Jawa Timur.

Perusahaan ini didirikan pada 1976 oleh pengusaha baja Lakshmi Mittal dan merupakan perusahaan luar negeri pertama yang didirikannya. Mittal kemudian sukses mengembangkan bisnisnya dan menjadi miliarder terkenal dari India, dan bahkan menempatkannya sebagai orang terkaya keempat di dunia pada 2006 versi majalah Forbes.

Bergabung di Ispat Indo sejak 1981 sebagai direktur operasional, Banka sebelumnya berkarier lebih dari 20 tahun di industri baja di India. Kini, di bawah kepemimpinan Banka, Ispat Indo kian berkembang sebagai salah satu perusahaan India terkemuka di Indonesia. Berdiri sejak 1976 dengan kapasitas produksi awal sekitar 60.000 ton per tahun, Ispat Indo saat ini sedang bersiap-siap meningkatkan kapasitas produksinya hingga 750.000 ton per tahun. Apa resep sukses Banka mengembangkan karier di Indonesia? Apa pula komentarnya terhadap makin banyaknya eksekutif asal India yang juga meniti karier di Indonesia? Berikut penuturan Banka kepada Wendy S. Hutahaean dari Warta Ekonomi via telepon, Sabtu (29/8) lalu. Petikannya:

Apa kunci sukses karier Anda hingga bisa menduduki posisi puncak di Ispat Indo saat ini?

Saya bergabung dengan Ispat Indo sejak 1981 sebagai direktur operasional. Pada saat itu, saya senang menerima tantangan baru dan tugas yang beragam. Saya pernah bertugas di bagian material, pemasaran, hubungan pemerintah, administrasi, pengiriman barang, asuransi, merger dan akuisisi, dan pengawasan perusahaan selama 16 tahun hingga kemudian dipercaya menjadi CEO di perusahaan baja ini sampai sekarang.

Sekadar berbagi pengalaman, kunci keberhasilan karier saya, antara lain, adalah berani menerima tantangan baru dari berbagai bidang pekerjaan, berani mengambil risiko dan tindakan saat diperlukan, menciptakan tim dan organisasi yang solid dan berkelanjutan, selalu belajar dari kesalahan yang lalu dan menganggapnya sebagai pelajaran berharga, serta melakukan yang terbaik dan selalu bergerak maju.

Bagaimana perkembangan bisnis Ispat Indo dalam lima tahun ini dan apa target yang ingin dicapai perusahaan?

Perusahaan terus bergerak maju. Target profit tahun ini sebesar US$70 juta dan target produksi sebesar 750.000 ton pada 2010. Perusahaan ini juga sedang dalam tahap ekspansi bisnis.

Bagaimana teknik Anda memimpin perusahaan? Apa yang menjadi prioritas Anda?

Membentuk organisasi yang solid dan kreatif adalah dasar dari kesuksesan suatu perusahaan. Jika setiap karyawan memiliki rasa loyalitas kepada perusahaan, mereka akan memberikan kinerja terbaik mereka. Karyawan perlu dimotivasi dan diarahkan sesuai visi dan misi perusahaan. Transparansi tentang keadaan perusahaan juga diperlukan agar mereka dapat memberikan ide jika diperlukan. Penghargaan juga harus diberikan kepada para karyawan yang berprestasi untuk lebih memotivasi mereka.

Dari segi perusahaan, saya berusaha mengontrol biaya pengeluaran perusahaan dan menjaga kepuasan konsumen. Menjaga kualitas produk, komponen yang bagus, pelayanan yang prima juga merupakan hal yang saya prioritaskan. Selain itu, keamanan dan keselamatan kerja serta bisnis yang ramah lingkungan perlu dijaga. Perusahaan ini juga menggalakkan kepedulian sosial terhadap masyarakat sekitar.

Apa faktor yang membuat perusahaan ini tertarik berinvestasi di Indonesia ketimbang di negara lain?

Pasar yang luas serta pertumbuhan ekonomi yang terus berjalan menjadi faktor investasi perusahaan di Indonesia. Selain itu, kerja sama ekonomi dan hubungan yang baik dengan masyarakat Indonesia sudah sejak lama terjalin.

Apa saja tantangan yang dihadapi dalam berbisnis di Indonesia dan bagaimana menyikapinya?

Dukungan dari pemerintah terhadap investasi asing kurang, dipersulit dengan perundang-undangan. Para pekerja asal Indonesia kurang memiliki kemauan belajar sesuatu yang baru, menghadapi tantangan baru, dan bidang baru. Jadi, agak menghambat perkembangan perusahaan.

Pengaruh pertumbuhan ekonomi di India terhadap investasi perusahaan Anda di Indonesia?

Pertumbuhan India turut mengembangkan investasi di Indonesia. Tahun-tahun ke depan akan banyak perusahaan yang menanamkan investasi di Indonesia. Ispat Indo sendiri juga akan melakukan ekspansi usaha di Indonesia.

Bagaimana perkembangan kehadiran eksekutif asal India ke Indonesia belakangan ini? Apakah menunjukkan pertambahan?

Dengan meningkatnya investasi India di Indonesia, dengan sendirinya arus kedatangan CEO atau eksekutif asal India tidak dapat dibendung. Namun, para CEO asal Indonesia juga diberi kesempatan, selain memiliki kompetensi. Kualitas kepemimpinan seorang CEO lebih dilihat dari kualitas individu daripada asal negaranya.

Beberapa CEO asal India seperti Vikram S. Pandit (Citigroup) dan Sanjay K. Jha (Motorola) termasuk CEO termahal di dunia. Bagaimanakah tren gaji dan benefit CEO asal India saat ini?

Sistem kompensasi internasional saat ini sudah cenderung lebih objektif. Lebih melihat bagaimana kinerja seseorang tanpa melihat dari negara mana dia berasal. Selagi CEO India mampu menunjukkan kinerjanya dalam memimpin perusahaan, kami dapat bersaing dengan CEO lain seperti dari Amerika dan Eropa.

Faktor apakah yang mendorong hijrahnya mereka ke luar India?

Kemauan untuk belajar, memandang dunia luar, menghadapi tantangan baru, dan mengembangkan karier.

Apa yang menjadi keunggulan CEO India dibandingkan dengan CEO lain, seperti asal Cina, Amerika, atau Indonesia?

Setiap CEO pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jangan melihat asal negara, tetapi lihatlah individunya.

Apakah kemunculan CEO India di Indonesia akan menjadi ancaman terhadap keberadaan eksekutif Indonesia? Apa saran Anda bagi eksekutif Indonesia dalam menghadapinya?

Arus globalisasi saat ini menuntut CEO yang kompetitif dan kompeten. Setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi CEO. Kalau warga Indonesia tidak mau mengembangkan kompetensinya, menerima tantangan baru, mempelajari bidang baru, maka dengan sendirinya perusahaan-perusahaan akan memilih CEO yang paling baik dan kompeten. Hal ini tergantung pada bagaimana para eksekutif Indonesia menyikapinya, apakah sebagai ancaman ataukah sebagai pemacu semangat.

Ditulis oleh: WENDY HUTAHAEAN
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )

Kian Karibnya Garuda dan Gajah


Kian Karibnya Garuda dan Gajah

Kian Karibnya Garuda dan Gajah
Minggu, 10 Januari 2010 16:03

Hubungan bilateral India dan Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Kedua negara telah saling bekerja sama bahu-membahu sejak zaman kemerdekaan, tak terkecuali di bidang ekonomi. Seiring berjalannya waktu, hubungan ekonomi antara dua negara yang sama-sama memiliki jumlah penduduk banyak ini makin meningkat. “Kerja sama antara Indonesia dan India di bidang ekonomi dan perdagangan mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir,” ungkap Duta Besar India untuk Indonesia, Biren Nanda.

Hubungan perdagangan dan ekonomi India-Indonesia memang tampak makin intensif dijajaki pada tahun 2000-an, baik pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, maupun pada masa presiden sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono. Data Kedutaan Besar India di Indonesia menunjukkan puncak naiknya nilai perdagangan antara Indonesia dan India terjadi antara tahun 2005 dan 2007. Nilai perdagangan bilateral kedua negara yang pada 2005 hanya US$4 miliar, naik menjadi US$10 miliar pada 2007. “Saya optimistis nilai tersebut akan terus meningkat dalam lima tahun ke depan,” ujar Biren.

Salah satu indikasi peningkatan yang disodorkan Biren adalah suksesnya pameran dagang akbar yang diselenggarakan Kedutaan Besar India untuk Indonesia bertajuk “Made in India” pada 7‒10 Agustus lalu di Jakarta. Dalam pameran itu, sebanyak 60 perusahaan dari 100-an perusahaan India yang berinvestasi di Indonesia turut berpartisipasi. Di ajang pameran itu juga terungkap bahwa dalam waktu dekat, ada sepuluh perusahaan besar India yang akan berinvestasi di Indonesia. “Saat ini ada dua perusahaan aluminium besar dari India yang telah menandatangani kesepakatan untuk berinvestasi di Balikpapan, Kalimantan Barat. Sementara itu, beberapa perusahaan India lainnya juga akan menandatangani kesepakatan untuk investasi di beberapa wilayah seperti Jawa dan Sumatera,” tuturnya.

Dari sisi neraca perdagangan kedua negara, Biren menjelaskan saat ini nilai ekspor Indonesia ke India lebih besar dibanding nilai ekspor India ke Indonesia. Hal ini terjadi karena negaranya mengimpor dua komoditas penting, yaitu minyak sawit dan batu bara, dari Indonesia. Tahun lalu saja India mengimpor minyak sawit dari Indonesia senilai US$3,7 miliar. Kalau mengesampingkan nilai impor kedua komoditas itu, maka neraca perdagangan kedua negara akan berimbang. “Indonesia merupakan salah satu mitra dagang utama India,” tegas Biren.

Kesepakatan ASEAN-India Free Trade Area

Hubungan ekonomi kedua negara, Indonesia dan India, diperkirakan akan makin meningkat setelah ditandatanganinya kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-India pada pertemuan Menteri Ekonomi dan Menteri Perdagangan ASEAN dan mitranya di Bangkok, 13‒15 Agustus lalu. “Pada 13 Agustus itu kedua belah pihak sepakat mengikat komitmen kerja sama perdagangan bebas dengan menandatangani Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN-India Free Trade Agreement (AIFTA),” kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam siaran persnya.

Bagi Indonesia, tambah Mari, AIFTA memiliki arti penting karena melalui perjanjian inilah Indonesia bisa mengamankan tingkat tarif minyak sawit mentah (CPO) dan minyak sawit yang sudah diolah/disuling (RPO) di India secara bertahap ke tingkat maksimum, masing-masing 37,5% dan 45%, pada 2019. Kesepakatan perdagangan bebas dengan India itu juga membuka peluang bagi peningkatan ekspor Indonesia untuk produk-produk lainnya, seperti daging, produk perikanan, susu, mentega, telur, kopi, teh, dan cokelat. Perdagangan India dan Indonesia pada 2005 baru mencapai US$2,8 miliar dan tahun lalu meningkat menjadi US$9 miliar, dengan posisi surplus di pihak Indonesia sebesar US$4 miliar. “Saat ini India mengenakan hambatan tarif (bea masuk) untuk kedua komoditas itu sebesar 80% dan 90%,” kata Mari.

Menurut Mari, India dikenal sebagai pasar yang sangat protektif dan tidak mudah ditembus. Dengan ditandatanganinya kesepakatan perdagangan bebas di pertemuan Bangkok itu, India sudah sepakat untuk menurunkan dan menghapuskan sebagian besar tarif (85% dari total pos tarif) untuk kurun waktu 2010‒2019. “Khusus untuk batu bara, yang merupakan komoditas ekspor utama Indonesia ke pasar India, Indonesia akan menikmati tarif nol persen mulai 1 Januari 2013,” ujarnya.

Perluasan Bidang Investasi India di Indonesia

Sejatinya investasi India di Indonesia telah dimulai sejak dekade 1970-an, terutama di bidang tekstil. Banyak perusahaan tekstil India yang beroperasi di Indonesia, misalnya PT Indorama dan PT Indobharat Rayon. Kedua perusahaan itu mempekerjakan sekitar 6.000 karyawan.

Kini, investasi India di Indonesia mulai merambah berbagai bidang, yang ditandai dengan masuknya investasi dari perusahaan baja dan sepeda motor India. Selain itu, sektor pertambangan dan perbankan ikut dilirik investor India. “Secara umum, ada lima bidang andalan investasi India di Indonesia, yaitu bidang tekstil, pengolahan baja, otomotif, perbankan, dan pertambangan. Kelima sektor tersebut terus dikembangkan nilai investasinya,” papar Biren.

Di bidang otomotif, investor utamanya, antara lain, ialah Bajaj Automotive Indonesia, TVS Motor Indonesia, dan Minda ASEAN Automotive. Perusahaan motor TVS yang memulai investasi dengan dana US$5 juta akan meningkatkan investasinya tahun ini menjadi US$10 juta. Begitu pula dengan Bajaj, yang mulai menghasilkan produk yang dapat bersaing dengan produk buatan Jepang di Indonesia. Hal ini akan didukung dengan adanya dua produsen otomotif asal India, yaitu Tata Motors Limited (TML) dan Mahindra Mahindra Limited (MML), yang berminat menanamkan investasi di Indonesia pasca-pameran “Made in India” di Jakarta. Ungkap Biren, “Saat ini, produk-produk otomotif buatan India sudah mampu bersaing dengan produk buatan Jepang di pasar Indonesia. Dengan peningkatan investasi perusahaan otomotif India seperti TVS, Bajaj, dan Minda, maka produk-produk yang dihasilkan perusahaan-perusahaan tersebut mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan investasi Jepang di Indonesia.”

Sektor perbankan India juga melebarkan sayapnya ke Indonesia. Bank SBI Indonesia, yang merupakan anak usaha State Bank of India (SBI), menargetkan investasi sebesar US$500 juta‒1 triliun dari India ke Indonesia. "Kami berupaya mendorong peningkatan jumlah investasi US$500 juta hingga US$1 triliun dalam satu hingga dua tahun mendatang,” ujar Biren. Peningkatan jumlah investasi itu salah satunya dilakukan dengan mengeluarkan pelayanan baru berupa transaksi perbankan devisa. Dengan adanya layanan baru tersebut, diharapkan kerja sama antara Indonesia dan India terjalin lebih baik, khususnya dalam hal investasi dan kegiatan ekspor-impor. Bahkan, geliat bank swasta seperti SBI terlihat lebih meningkat daripada Bank Swadeshi milik Bank of India, bank milik pemerintah India, yang telah beroperasi di Indonesia sejak 2007.

Industri tekstil India di Indonesia yang sudah beroperasi sejak 1973 seperti Elegant Textile dan Indorama serta beberapa industri tekstil lainnya juga akan meningkatkan nilai investasinya di Indonesia. “Industri tekstil merupakan industri yang pertama kali melakukan investasi di Indonesia sejak tahun '70-an. Sampai sekarang industri tersebut tetap bertahan walaupun krisis ekonomi dunia terjadi. Saya yakin industri tekstil akan terus berkembang walaupun perkembangannya cenderung perlahan,” tutur Biren yang murah senyum itu.

Biren mengatakan Indonesia merupakan tempat investasi terbesar India di bidang manufaktur dan pertambangan. “Setelah penandatanganan kesepakatan AIFTA pada 13 Agustus lalu, India akan lebih memfokuskan segmen investasinya di tiap negara ASEAN. Indonesia dikonsentrasikan pada investasi manufaktur dan pertambangan, sedangkan investasi di Singapura akan lebih diarahkan ke bidang jasa. Prospek pasar di Indonesia dalam lima tahun ke depan sangat cerah untuk bidang tersebut dibandingkan dengan negara lain di ASEAN,” jelasnya.

Alasan Berinvestasi di Indonesia

Menurut Biren, ada beberapa alasan mengapa perusahaan-perusahaan India berminat untuk lebih meningkatkan investasi di Indonesia. Alasan pertama, India dan Indonesia merupakan dua negara yang mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi global yang menerpa banyak negara. Ujar Biren, “Negara kami selamat dari krisis karena tidak bergantung pada ekspor, melainkan berkonsentrasi pada pasar domestik. Kalau ekonomi negara lain menciut, hal yang sebaliknya justru terjadi pada ekonomi India dan Indonesia yang malah terus tumbuh.”

Alasan kedua, lanjut Biren, kedua negara memiliki pasar domestik yang sangat besar. Penduduk Indonesia sekitar 230 juta orang dan penduduk India 1,1 miliar orang. Pasar domestik inilah yang menyelamatkan India dan Indonesia. Sebesar 65% GDP India berasal dari pasar domestik. Di samping kedua hal itu, Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber energi. “Di masa depan, India melihat prospek kerja sama dengan Indonesia dalam bidang sumber energi akan sangat menguntungkan,” tambah Biren.

Salah satu bentuk kerja sama dalam bidang energi yang telah dilakukan, misalnya, India membawa 10 juta ton aluminium ke Sumatera Selatan untuk dilelehkan. Indonesia dipilih sebagai tempat untuk melelehkan aluminium India karena Indonesia memiliki sumber energi yang besar.

Tantangan Berinvestasi di Indonesia

Namun, ada beberapa tantangan bagi pebisnis India dalam berinvestasi di Indonesia. Tantangan pertama adalah persaingan dengan produk sejenis dari negara lain yang sudah lebih dulu terkenal di Indonesia. “Untuk produk otomotif, persaingan dengan produk-produk Jepang dan inovasinya akan lebih memacu lagi semangat produsen otomotif India untuk menciptakan produk yang lebih kreatif. Hal ini bukan merupakan tantangan yang berarti menurut saya, melainkan merupakan pemicu semangat untuk berkreasi lebih baik,” papar Biren.

Tantangan kedua adalah regulasi investasi di Indonesia yang dinamis. Menurut Biren, peraturan perundang-undangan dan hukum yang dibuat hendaknya harus juga menyeimbangkan antara kebutuhan industri dan kebutuhan masyarakat. Hal ini dilakukan agar para investor India lebih bergairah dalam berinvestasi di Indonesia. Dengan regulasi yang stabil dan seimbang, maka iklim investasi di Indonesia akan makin kondusif. Untuk rencana ke depan, Biren mengungkapkan India yakin pada 2014 kerja sama perdagangan Indonesia-India akan mencapai US$20 miliar. Ini terhitung lompatan luar biasa mengingat lima tahun lalu kerja sama perdagangan dan investasi kedua negara hanya US$4 miliar.

Menurut data Departemen Perindustrian, investasi India di Indonesia selama beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Baru-baru ini, misalnya, ada 10 perusahaan India yang bersiap-siap melakukan investasi di Indonesia. Mereka telah menjajaki kerja sama dengan Departemen Perindustrian. Perusahaan India tersebut, antara lain, NICCA Corp., Tata International Ltd., dan Jetline Group Companies. Mereka bergerak di bidang alat angkut, peralatan dan perlengkapan elektronik, perangkat lunak, konstruksi, jam tangan, bahan kimia, hydropower, serta pengembangan infrastruktur skala kecil, menengah, dan besar. Data Departemen Perindustrian sendiri menunjukkan India merupakan negara mitra dagang Indonesia yang penting dengan nilai total perdagangan kedua negara pada 2008 mencapai US$9,5 miliar. Ekspor Indonesia ke India mencapai US$7,16 miliar dan impornya sebesar US$2,9 miliar.

Ditulis Oleh:
WENDY S. HUTAHAEAN

( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )
Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi No 18 tahun XXI. Judul asli tulisan ini adalah "Kian Karibnya Garuda dan Gajah."

Di Microsoft pun Mayoritas Karyawannya Adalah Warga India (Biren Nanda/ Indian Ambasador for Indonesia)


Di Microsoft pun Mayoritas Karyawannya Adalah Warga India (Biren Nanda/ Indian Ambasador for Indonesia)

Di Microsoft pun Mayoritas Karyawannya Adalah Warga India
Sabtu, 09 Januari 2010 15:05

Sukses menyelenggarakan pameran bertajuk “Made in India” yang berlangsung pada 7‒10 Agustus lalu di Jakarta, Biren Nanda, Duta Besar India untuk Indonesia, optimistis tren investasi India di Indonesia akan terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi kedua negara. Kendati demikian, Biren tidak menampik meningkatnya investasi perusahaan-perusahaan India di Indonesia secara tidak langsung akan turut membawa eksekutif asal India dalam operasional perusahaan India di negara ini. Belum lagi ditambah eksekutif India yang banyak bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia ataupun di kelompok-kelompok usaha besar negeri ini. Dengan kata lain, jumlah eksekutif asal India yang meniti karier di Tanah Air juga meningkat.

Apakah merebaknya eksekutif asal India yang mengembangkan karier di Indonesia ini akan mengancam keberadaan eksekutif lokal di Indonesia? Berikut tanggapan Biren Nanda yang disampaikan kepada Wendy Hutahaean dari Warta Ekonomi dalam sebuah wawancara eksklusif, Rabu (19/8), di Kedutaan Besar India di Jakarta. Petikannya:

Bagaimana perkembangan investasi perusahaan-perusahaan India di Indonesia hingga saat ini?

Sebagai negara bertetangga yang memiliki potensi pasar yang luar biasa, Indonesia merupakan salah satu mitra utama India di bidang ekonomi dan perdagangan. Dari tahun ke tahun nilai perdagangan antara Indonesia dan India cenderung naik, begitu pula dengan investasi India di Indonesia. Pada 2005 terjadi peningkatan investasi hingga dua kali lipat yakni sebesar US$10 miliar. Nah, tahun ini ada beberapa perusahaan baru India yang berinvestasi di Indonesia di bidang pengolahan logam. Saya optimistis tren investasi India di Indonesia akan terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi kedua negara.

Pendapat Anda tentang makin banyaknya CEO atau eksekutif asal India di beberapa perusahaan multinasional?

Hal ini wajar. Jika dihitung dari total penduduk India maupun keturunan India di dunia dibandingkan dengan total penduduk dunia, maka perbandingannya adalah satu berbanding sepuluh. Hal ini didukung pula dengan pertumbuhan penduduk India dari tahun ke tahun. Keadaan ini secara tidak langsung mendorong penyebaran warga India di seluruh dunia. Kalau tentang kemampuan mereka menduduki posisi penting di berbagai perusahaan multinasional, hal ini tergantung pada kualitas kepemimpinan mereka. Kalau mereka sanggup menjadi CEO, mereka akan dipilih tanpa memedulikan apakah mereka berasal dari India atau dari belahan dunia mana pun. Jadi, kompetensi para CEO tersebut akan lebih diperhitungkan daripada dari mana mereka berasal.

Apakah yang mendorong banyak warga India lebih memilih melanjutkan karier mereka di luar negeri, bahkan sampai berhasil menduduki posisi CEO perusahaan multinasional?

Ada beberapa penyebab para warga India melanjutkan karier mereka di luar negeri. Globalisasi merupakan salah satu penyebab migrasi tersebut. Saat ini batas-batas negara sudah tidak lagi menjadi penghalang untuk karier seseorang. Warga India sejak dahulu terkenal sebagai penjelajah berbagai samudra untuk keperluan perdagangan, bahkan hingga kini masih terlihat dampaknya. Banyak di antara warga India tersebut sukses berbisnis di negara lain dan akhirnya menjadi warga negara tempat mereka berusaha setelah berpuluh tahun tinggal di negara tersebut. Penyebab kedua adalah motivasi untuk maju yang selalu menjadi semangat kebanyakan orang India. Kami selalu ingin sukses dalam pekerjaan yang kami tekuni. Itulah sebabnya banyak bermunculan para eksekutif yang berasal dari India di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Selain itu, kompetisi dalam berbagai bidang, baik yang terjadi di India maupun di dunia, seperti pada bidang ekonomi dan perdagangan, telah menjadikan warga India sebagai warga dunia yang kompetitif di mana pun berada. Alasan keempat adalah latar belakang pendidikan di India yang sangat ketat. Para pelajar sudah dibekali berbagai kemampuan seperti bahasa Inggris, teknologi, dan pengetahuan sejak kecil sehingga mampu menghadapi persaingan global.

Bagaimana para eksekutif India bisa unggul dibandingkan eksekutif negara lain?

Saya tidak dapat menjelaskan hal ini secara subjektif karena cenderung chauvinisme. Namun, secara objektif yang saya dengar dari orang-orang bahwa eksekutif asal India dapat bersaing dengan eksekutif lainnya di dunia. Hal ini dimulai dari sistem pendidikan di India yang pada umumnya selalu mengikuti perkembangan dunia. Banyak perusahaan multinasional yang merekrut karyawan dari India. Sebagai contoh, di perusahaan perangkat lunak terbesar, Microsoft, mayoritas karyawannya adalah warga India. Hal ini membuktikan kompetensi warga India dalam globalisasi. Selain itu, semangat dan motivasi untuk maju juga menjadi pendorong perkembangan tersebut.

Perbandingan antara gaji dan insentif para eksekutif India dibandingkan dengan eksekutif lain, seperti eksekutif asal Eropa atau Amerika, cenderung lebih rendah. Apa pendapat Anda?

Rendah atau tingginya gaji seseorang tergantung kualifikasinya. Sejauh pengamatan saya, para eksekutif India dibayar dengan layak. Kalau masalah gaji mereka lebih besar atau kecil, saya kurang mengetahuinya. Pada umumnya warga India hidup sederhana dan cenderung tidak berfoya-foya. Hal ini mungkin menjadikan pendapatan yang mereka terima itu layak bagi mereka. Besar kecilnya gaji seseorang itu bersifat relatif dan tergantung kepuasan orang tersebut terhadap pendapatan yang diterimanya. Lagi pula, sekarang ini sistem pay for performance sudah umum dijalankan, bahkan jumlahnya lebih besar daripada gaji. Jadi, jangan berpatokan pada seberapa besar gaji yang diterima seseorang, melainkan apakah orang tersebut puas akan pendapatannya serta bagaimana cara hidupnya.

Apakah akan terjadi peningkatan munculnya CEO India di berbagai negara, termasuk Indonesia, pada masa mendatang?

Saya kurang tahu mengenai hal tersebut. Namun, yang jelas, globalisasi telah mendorong orang tertarik untuk merasakan kehidupan di berbagai negara, termasuk warga India. Begitu pun dengan warga Indonesia, banyak yang sukses menjadi CEO di berbagai perusahaan dunia. Pertumbuhan ekonomi yang pesat akan mendorong investasi India di berbagai negara. Perusahaan-perusahaan India yang berinvestasi di berbagai negara secara tidak langsung akan turut membawa warga India dalam jajaran perusahaannya di samping penyerapan warga lokal. Kualifikasi seseorang dan kepemimpinannya akan lebih menentukan apakah ia dipercaya menjadi pemimpin perusahaan tanpa memedulikan dari mana asalnya. Begitu pun dengan warga India yang dipercaya menjadi CEO di berbagai perusahaan.

Ditulis Oleh:
Wendy Hutahaean ( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )

Tulisan ini bersumber dari majalah Warta Ekonomi No 18 tahun XXI. Judul asli tulisan ini adalah "Di Microsoft pun Mayoritas Karyawannya Adalah Warga India."

Ancaman Eksekutif Puncak dari Negeri Gajah


Ancaman Eksekutif Puncak dari Negeri Gajah

Ancaman Eksekutif Puncak dari Negeri Gajah
Rabu, 13 Januari 2010 08:03

Incredible India! Begitulah slogan Pemerintah India dalam mengampanyekan kehebatan dunia pariwisata di Negeri Gajah itu. Slogan tersebut tidaklah salah. Kekayaan alam dan budaya India memang sudah sejak lama dikenal menakjubkan. Begitu pula dengan perekonomiannya sekarang ini. Munculnya ekonomi India sebagai kekuatan ekonomi baru dunia saat ini, termasuk meningkat tajamnya daya saing perusahaan-perusahaan India pada tingkat global, membuat kagum banyak kalangan.

Saat banyak negara mengalami keterpurukan ekonomi karena krisis ekonomi global, ekonomi India justru mencatat pertumbuhan positif. Selama triwulan II-2009, ekonomi India tumbuh 5,8%. Kenaikan ini sama dengan pertumbuhan pada triwulan I-2009. Secara year on year (y-o-y), per Juni 2009 perekonomian India tumbuh sebesar 6,7%. Pertumbuhan y-o-y ini lebih tinggi 2% dibandingkan dengan kinerja ekonomi Indonesia yang sebesar 4%.

Pertumbuhan positif ekonomi India membuat arus investasi perusahaan-perusahaan India di berbagai negara terus meningkat, tak terkecuali di Indonesia. Seiring meningkatnya arus investasi perusahaan-perusahaan India di Indonesia itu pula, arus migrasi eksekutif asal India ke Indonesia tampak tak terbendung. Nilai perdagangan bilateral India-Indonesia yang pada 2005 hanya US$4 miliar naik menjadi US$10 miliar pada 2007. Diperkirakan, kerja sama perdagangan India-Indonesia akan mencapai angka US$20 miliar pada 2014. “Saya optimistis nilai tersebut akan terus meningkat dalam lima tahun ke depan,” tandas Duta Besar India untuk Indonesia, Biren Nanda.

Akibat peningkatan nilai perdagangan dan investasi itu, jumlah eksekutif India yang meniti karier di Indonesia pun diperkirakan akan bertambah banyak. “Sebab, pada umumnya perusahaan-perusahaan India tersebut akan membawa eksekutifnya bersama mereka,” ujar Satish Mishra, direktur manajerial Strategic Asia, sebuah organisasi yang bergerak dalam meningkatkan hubungan kerja sama antar-negara-negara Asia.

Menurut Irham Dilmy, managing partner perusahaan executive search Amrop Hever Indonesia, tren ekspansi eksekutif India di Indonesia ini secara tidak langsung akan mengancam keberadaan eksekutif atau CEO lokal jika para eksekutif lokal tidak meningkatkan daya saing dan kompetensinya. “Saat ini makin banyak dijumpai warga India yang menjadi CEO, direksi, atau profesional di berbagai perusahaan baik lokal maupun multinasional. Bahkan, BUMN-BUMN juga sudah tak segan merekrut penasihat dan pengawas yang berasal dari India,” ungkapnya.

Irham menaksir saat ini sekitar 2% dari jumlah eksekutif puncak perusahaan-perusahaan besar di Indonesia adalah CEO-CEO yang berasal dari India. “Ini belum termasuk para profesional maupun eksekutif India yang duduk dalam jajaran direksi perusahaan-perusahaan besar,” paparnya. Perkiraan ini didukung oleh catatan Sugandh Rajaram, kepala bagian politik dan informasi Kedutaan Besar India di Indonesia. Menurut catatannya, saat ini di Indonesia setidaknya ada sekitar 2.000 warga India yang menduduki posisi puncak di berbagai perusahaan besar di Indonesia, baik di perusahaan India yang berinvestasi di Indonesia, perusahaan multinasional, maupun di perusahaan lokal Indonesia. “Jumlah mereka mulai meningkat drastis pada tahun 2005 sejalan dengan tumbuhnya investasi India di Indonesia,” ujarnya.

Adalah hal yang wajar apabila perusahaan India yang berinvestasi di Indonesia lebih banyak merekrut eksekutif India. Perusahaan-perusahaan India itu tentunya tidak mau mengambil risiko investasi yang tinggi dengan langsung merekrut eksekutif lokal Indonesia untuk duduk dalam manajemen puncak perusahaannya di Indonesia. Irham memberikan data bahwa rata-rata perusahaan India yang berinvestasi di Indonesia menghabiskan dana US$500.000 sampai US$1 juta setiap tahun untuk mendatangkan eksekutif asal India yang sudah mengetahui seluk-beluk budaya perusahaan India. Pilihan lain adalah mendapatkan CEO dari negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Filipina, atau Cina dengan biaya lebih murah, yaitu US$200.000. Sementara itu, untuk merekrut CEO lokal tampaknya bukan menjadi pilihan mereka. “Pada umumnya perusahaan-perusahaan India merekrut warga Indonesia lebih untuk level supervisor,” terang Irham.

Namun, menariknya, perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dan bahkan perusahaan-perusahaan nasional juga cenderung makin banyak memercayakan posisi-posisi puncak perusahaan kepada eksekutif-eksekutif puncak dari India. Kelompok-kelompok usaha besar seperti Grup Bakrie dan Grup Sinarmas dikenal telah sejak lama menggunakan jasa eksekutif asal India untuk memimpin perusahaan. Duduk sebagai presiden direktur PT Bakrie & Brothers Tbk., perusahaan induk kelompok Bakrie, sekarang adalah Nalinkant A. Rathod asal India. Komentar Aburizal Bakrie, pemilik Grup Bakrie, grupnya memilih eksekutif yang dapat memberikan profit kepada perusahaan tanpa memandang asal negaranya. “Siapa pun yang dapat memberikan profit bagi perusahaan akan tetap dipercaya. Sekarang, ya mereka itu,” tandasnya.

Analisis Irham Dilmy, ada beberapa penyebab mengapa perusahaan lokal mulai melirik eksekutif asal India. Pertama, para eksekutif India yang sekarang mulai bermunculan di berbagai perusahaan lokal adalah eksekutif yang telah tinggal bertahun-tahun di Indonesia dan sudah memahami budaya dan pasar Indonesia. Kedua, latar belakang pendidikan mereka yang bertaraf internasional di India serta pengalaman kerja di berbagai negara membuat para eksekutif India ini lebih berpikiran terbuka dan global. Ketiga, mereka tidak terlalu mempermasalahkan gaji yang akan mereka terima walaupun itu lebih rendah dibanding gaji CEO Amerika dan Eropa, bahkan Indonesia sekalipun. “Para eksekutif India lebih fokus pada jenis tantangan baru yang akan mereka hadapi dan bidang baru yang dipelajari,” terang Irham.

Kompensasi CEO India Lebih Bersaing

Soal gaji, Prakash Maheshwari, CEO PT Indobharat Rayon sekaligus PT Indoraya Kimia, membenarkan bahwa eksekutif India tidak terlalu memperhitungkan besarnya gaji yang mereka dapat. “Ekspektasi para CEO India terhadap gaji umumnya tidak setinggi CEO lain, jadi kami tergantung kebijakan perusahaan,” ungkapnya. Prakash mengisahkan pada saat awal kariernya sebagai CEO, ia sendiri juga tidak terlalu mempermasalahkan gaji yang ia peroleh. “Soalnya, bisa mendapatkan posisi sebagai CEO saja adalah suatu kehormatan tersendiri dan tantangan baru bagi saya. Selain itu, standar penggajian di India apabila dibandingkan dengan negara lain seperti di Amerika atau Eropa memang cenderung lebih kecil. Hal inilah yang membuat banyak perusahaan merekrut eksekutif India,” tuturnya.

Berdasarkan data yang dirilis oleh PayScale Inc., sebuah lembaga riset gaji dunia yang berbasis di Amerika Serikat, maka dapat dilihat perbandingan median (nilai tengah) besaran kompensasi CEO India dengan CEO Amerika maupun CEO Indonesia sesuai pengalaman kerjanya. Tampak jelas di sana bahwa para CEO India pada awal kariernya memang rela mendapatkan gaji yang lebih murah dibandingkan CEO dari negara lain, seperti CEO asal Amerika atau Eropa. Para CEO India itu agaknya lebih memprioritaskan pembuktian kinerja mereka sebagai CEO di hadapan para pemilik saham daripada menawarkan janji untuk mendapatkan gaji yang tinggi.

Namun, setelah berhasil membuktikan keberhasilannya sebagai pemimpin perusahaan, barulah para CEO India itu berani meminta gaji yang lebih tinggi daripada sebelumnya, bahkan hingga dua kali lipat. Gaji mereka akan terus naik hingga 20 tahun masa kerjanya di perusahaan tersebut. Hal ini sangat berkebalikan dengan kompensasi CEO Amerika atau Eropa yang berani meminta gaji yang sangat tinggi di awal dengan menawarkan janji kesuksesan perusahaan. Faktor ini pula yang diduga membuat para CEO Amerika atau Eropa kerap termasuk dalam jajaran eksekutif termahal di dunia.

Median gaji CEO Amerika pada awal karier mereka adalah sebesar US$41.647 per bulan dan meningkat secara bertahap hingga mencapai puncaknya pada kisaran US$72.504 per bulan pada akhir kariernya. Bandingkan dengan CEO India yang memulai kariernya sebagai CEO dengan median gaji yang lebih rendah, yaitu 196,016 rupee per bulan (setara US$4.010 dengan kurs US$1 = 49 rupee). Namun, kenaikan gaji pada tiap tahapan karier mereka cenderung drastis dan terus meningkat hingga 20 tahun karier mereka.

Bagaimana dengan gaji para CEO Indonesia? Gaji para CEO lokal ini memiliki nilai tengah sebesar Rp37.743.956 per bulan pada awal kariernya (setara US$3.728 dengan kurs US$1 = Rp10.100). Jelas, jumlah ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan penawaran CEO India. Sayangnya, pada umumnya CEO lokal baru berani mengajukan kenaikan gaji setelah lebih dari 19 tahun meniti karier.

Jadi, tampak jelas di sini keberanian dalam hal daya tawar kompensasi kurang dimiliki CEO Indonesia. Hal ini bisa jadi lebih dipengaruhi oleh budaya Indonesia yang kurang dapat menawarkan janji kesuksesan kepada pemilik saham atau memang kualifikasi CEO Indonesia pada umumnya masih di bawah CEO asal negara lain, termasuk India dan Amerika. Oleh sebab itu, para eksekutif lokal Indonesia kini kian dituntut mampu membuktikan keunggulannya dengan meningkatkan kompetensi agar daya tawar kompensasinya bisa bersaing dengan CEO dari negara lain, termasuk dengan CEO India.

Irham Dilmy menegaskan kompetensi para eksekutif lokal Indonesia memang harus lebih ditingkatkan, baik dari kemampuan bahasa, analisis, maupun kreativitas. Selain itu, mereka juga harus membuka wawasannya dengan melihat perkembangan negara lain. “Pada umumnya CEO Indonesia yang berhasil adalah CEO yang sudah memiliki pengalaman di berbagai negara atau paling tidak sudah mengecap pendidikan di negara lain. Patut diingat pula bahwa perusahaan pada dasarnya tetap berprinsip: dengan pengeluaran sekecil-kecilnya, dapat untung sebesar-besarnya. Jadi, wajar saja jika banyak perusahaan lebih memilih eksekutif India yang memiliki kemampuan berstandar internasional, tetapi biayanya lebih murah. Nah, hal ini secara tidak langsung akan sangat berpotensi menggeser posisi eksekutif Indonesia,” terangnya.

Kelebihan Eksekutif India

Selain memiliki keunggulan kompetitif berupa kesediaan dibayar lebih murah dibanding CEO asal Amerika, Eropa, dan bahkan CEO Indonesia, ada sejumlah keunggulan lain dari eksekutif asal India yang mendukung eksistensi mereka di Indonesia. Setidaknya teridentifikasi tiga aspek. Pertama, masalah kemampuan berbahasa Inggris. Rata-rata orang India fasih berbahasa Inggris karena memang pendidikan mereka sejak kecil telah menggunakan bahasa Inggris. “Hal ini menjadi kunci dasar diterimanya mereka dalam pergaulan internasional,” ungkap Biren Nanda.

Dengan fasih berbahasa Inggris, eksekutif India pun jadi memiliki keahlian presentasi dan bernegosiasi dalam bahasa Inggris. Selain itu, hal tersebut juga membuat mereka mudah menyerap kemajuan ilmu dan pengetahuan dari negara Barat. Alhasil, banyak perusahaan di Asia tertarik menggunakan jasa eksekutif India.

Aspek kedua adalah pendidikan. Orang India dikenal sangat peduli dengan pendidikan. Mereka tidak segan-segan berkorban banyak hal demi menyekolahkan anaknya ke sekolah terbaik atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Alhasil, kepemimpinan para eksekutif India ini juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya yang tinggi.

Aspek ketiga berkaitan dengan masalah psikologis. Kemauan kuat untuk sukses menghadapi tantangan baru, apalagi saat berkarier di perantauan, mendorong para eksekutif India ini lebih memiliki semangat juang yang tinggi dibandingkan eksekutif lainnya. Menurut Irham Dilmy, eksekutif India memiliki kemauan kuat menerima tantangan baru dan bidang pekerjaan baru. Kemauan ini mengalahkan keinginan mendapatkan gaji yang tinggi. “Para eksekutif India selalu merasa tertantang untuk menaklukkan tantangan baru dengan mencoba menempati berbagai bidang di perusahaan, mulai dari pemasaran, keuangan, personalia, dan bahkan bagian operasional. Pada umumnya, para eksekutif tersebut tidak terlalu mempermasalahkan gaji yang mereka terima dibandingkan jenis tantangan baru yang akan mereka hadapi,” ulasnya.

Tantangan Eksekutif Lokal

Menurut Marzuki Usman, chairman Economic Association of Indonesia and India, jika dalam lima tahun ke depan para eksekutif Indonesia tidak dapat segera meningkatkan kompetensinya, maka secara alami mereka akan terancam atau makin kalah bersaing dengan kehadiran para eksekutif India. “Dari segi kualitas personal, para eksekutif India ini lebih memiliki loyalitas yang tinggi, integritas, dan bekerja lebih efisien. Walaupun rela dibayar murah pada awal kariernya, mereka akan membuktikan bahwa kinerja mereka bisa lebih baik daripada eksekutif Amerika dan bahkan eksekutif lokal. Perusahaan tentu kemudian akan melihat kinerja tersebut dan dengan senang hati menaikkan gaji mereka secara bertahap,” papar Marzuki. Kelebihan lain dari eksekutif India, tambahnya, eksekutif India senang menerima tantangan pada bidang pekerjaan yang beragam. “Berbeda halnya dengan eksekutif Indonesia yang pada umumnya lebih menyukai pekerjaan yang stabil,” ungkapnya.

Hal senada juga diungkapkan Raam Punjabi, CEO PT Tripar Multivision Plus. Pengusaha ternama di industri film nasional ini menilai jiwa entrepreneurship atau keberanian mengambil risiko para eksekutif Indonesia memang perlu ditumbuhkan. “Jika dibandingkan dengan eksekutif India, eksekutif Indonesia kurang mempunyai semangat 'Aku Bisa!' dalam berusaha maupun merambah dunia internasional,” tandasnya.


WENDY S. HUTAHAEAN DAN FADJAR ADRIANTO
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )

Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi No 187 tahun XXI. Judul asli tulisan ini adalah "Ancaman Eksekutif Puncak dari Negeri Gajah."

Ambisi Rp3.500 Triliun Sang Alumnus Harvard (Succes Story of Ito Warsito/ CEO BEI)

Ambisi Rp3.500 Triliun Sang Alumnus Harvard
Sabtu, 16 Januari 2010 10:24

Duduk sebagai pucuk pimpinan yang baru di Bursa Efek Indonesia, Ito Warsito menargetkan kapitalisasi pasar bursa menembus angka Rp3.500 triliun pada 2012. Untuk itu, ia membidik BUMN, perusahaan di bidang sumber daya alam, dan perusahaan yang memperoleh kredit bank di atas Rp500 miliar sebagai emiten-emiten baru bursa. Pengalaman panjangnya berkarier di perusahaan sekuritas milik negara menjadi modalnya untuk memimpin pasar saham.

Menduduki posisi direktur utama Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak pernah dibayangkan Ito Warsito sebelumnya. Namun, 20 rencana strategis yang ditawarkan Ito dan timnya pada saat kampanye pemilihan direksi BEI pada Juni 2009 lalu telah mengantarkannya ke takhta orang nomor satu BEI periode 2009‒2012. Tugasnya saat ini adalah merealisasikan 20 janji tersebut untuk menjadikan pasar modal yang lebih baik dan maju. Ia menggantikan Erry Firmansyah.

Nama Ito Warsito tidak asing lagi di lantai bursa. Ia sudah malang melintang di dunia pasar modal sejak lama. Ia pernah berkarier di PT Bahana Securities sebagai komisaris utama dan pernah juga mengabdi di PT Danareksa. Pria ini juga sempat menjabat posisi strategis di jajaran PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Ia hampir delapan tahun bekerja di Bahana. Pengalamannya yang cukup lama di Bahana dan kedekatannya dengan dunia usaha menjadi poin plus bagi para anggota bursa untuk memilih pria yang satu ini menjadi dirut BEI dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) BEI, 24 Juni 2009. Ia menang mutlak dengan perolehan suara 79 suara dibanding lawannya, I Made Rugeh Ramia, yang hanya meraih 36 suara.

Perjalanan menuju kursi dirut BEI harus dilalui Ito dengan penuh perjuangan. Dia mengaku tidak mengeluarkan dana sepeser pun karena para sponsor anggota bursa yang menanggung pendanaannya. “Saya dicalonkan teman-teman anggota bursa. Keinginan saya untuk memajukan pasar modal dan bursa didukung oleh para anggota bursa sehingga saya dipercaya menjadi dirut BEI saat ini. Pada intinya, 20 rencana strategis saya dan tim adalah meningkatkan pelayanan dan daya saing bursa,” tutur pria yang sempat jatuh sakit karena tifus pada masa kampanyenya, awal Juni 2009 lalu, ini.

Target Kapitalisasi Pasar

Ayah dua orang anak ini mengatakan pada 2012 ia menargetkan tingkat kapitalisasi pasar dapat mencapai Rp3.500 triliun. Dia mengakui fokus pada kapitalisasi pasar ini dilatarbelakangi persaingan investasi global. “Ada tiga sasaran prioritas untuk peningkatan kapitalisasi pasar, yaitu sektor BUMN, perusahaan yang mengelola sumber daya alam, dan perusahaan yang memperoleh kredit bank di atas Rp500 miliar,” tandasnya. Ia berharap adanya peranan pemerintah untuk memacu ketiga sektor tersebut dalam peningkatan kapitalisasi pasarnya.

Menurut Ito, pihaknya berharap perusahaan yang mengelola sumber daya alam Indonesia bisa mencatatkan sahamnya di BEI. “Bukan induk perusahaannya, melainkan unit usaha yang beroperasi di Indonesia, misalnya Newmont Nusa Tenggara atau Freeport Indonesia,” tuturnya. Keuntungannya, imbuh Ito, jika mereka harus melepas saham, harga jualnya lebih mencerminkan harga sebenarnya, bukan harga auditor atau penaksir.

Sementara itu, untuk perusahaan negara, Ito memperkirakan mereka juga membutuhkan pasar modal seperti BEI. “Mereka kan perlu modal untuk pengembangan usaha, sementara anggaran negara tidak selalu bisa memenuhi. Mereka bisa berutang, tetapi ada batasnya,” terang Ito. Ia berharap masuknya perusahaan negara ke BEI bisa dimulai dari Garuda Indonesia, Bank Tabungan Negara, dan 15 BUMN perkebunan yang ada. “Mereka diharapkan dapat meningkatkan jumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melakukan initial public offering (IPO) di BEI,” tegasnya. Saat ini baru 15 BUMN yang melakukan IPO, antara lain adalah PT Indosat Tbk., PT Telkomsel Tbk., PT Kimia Farma Tbk., dan PT Indo Farma Tbk.

Lanjut Ito, banyak faktor yang membuat indeks melesat. Di antaranya, kepercayaan investor global terhadap Indonesia yang makin tinggi, suksesnya Pemilu Legislatif, dan amannya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Di samping itu, ada peluang dari selisih penurunan laba perusahaan dan indeks bursa akibat krisis ekonomi global. Penurunan indeks yang terjadi tahun lalu terlalu drastis karena investor global panik akibat krisis di Amerika Serikat. Mereka banyak melepas saham untuk menutup kerugian di Eropa dan Amerika. Padahal, secara akumulatif, penurunan laba seluruh emiten bursa pada 2008 dibanding 2007 hanya sekitar 20%, tetapi indeks turun lebih dari 50%. Jadi, secara fundamental ada selisih lebih dari 30%. “Per akhir Juli kemarin, kapitalisasi pasar bursa Indonesia sudah kembali ke posisi pada akhir Juli 2008, yakni sekitar Rp1.800 triliun. Selain karena faktor fundamental, ada peran investor domestik, walau sulit diukur berapa besar pengaruh investor domestik, terutama dengan maraknya perdagangan lewat internet,” ujarnya.

Ketika ditanya mengenai potensi kaburnya investor asing dari BEI, Ito menjelaskan bahwa tipe investor global ada dua. Pertama, mereka yang melakukan investasi jangka panjang sembari tetap melakukan jual-beli, tetapi portofolionya tetap. Lalu, kedua, ada hedge fund yang mencari imbal hasil tertinggi. Jadi, uangnya berpindah-pindah terus. “Saya punya pengalaman waktu penawaran saham perdana Bank BRI pada 2002. Alokasi saham dibagi dua, untuk investor asing dan lokal. Namun, dalam dua tahun, porsi investor lokal makin tipis, hanya sekitar 25% dari alokasi awal. Kebanyakan beralih ke investor asing,” ujarnya.

Hingga saat ini, tambah Ito, investor asing masih menguasai 65% portofolio di BEI. Tidak berbeda jauh dibanding tahun lalu, walaupun porsi investor asing sempat turun sekitar Januari. “Sejak April mereka masuk kembali, tapi belum banyak. Baru setelah Pemilu Presiden Juli, makin banyak yang masuk,” ujarnya menjelaskan besarnya investasi asing dibandingkan lokal. Bagaimana dengan perkembangan investor lokal? Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta jiwa dan ada 1% saja masyarakat lokal yang berpotensi menjadi investor di bursa, berarti sebenarnya ada potensi 2,3 juta investor lokal yang bisa diraih BEI. Sementara ini, tercatat baru ada 335.000 investor lokal di bursa. Padahal, di negara tetangga seperti Malaysia saja, bursa sahamnya sudah memiliki sekitar 4 juta investor lokal dari 27 juta penduduk.

Bagi Ito, BEI harus bisa menjadi alternatif sumber pendapatan bagi perusahaan-perusahaan yang masuk ke dalamnya. Maka dari itu, likuiditas perdagangan di BEI harus ditingkatkan. “Untuk itu, kami siap bekerja keras dan melayani. Direksi bursa itu bukan bos, ia justru sebenarnya pelayan bagi anggota bursa yang menjadi pemegang saham,” tandasnya. Ito menuturkan dirinya sudah terbiasa bekerja keras hingga larut malam, sehingga pria yang memiliki prinsip hidup bagai air mengalir ini mengaku tak perlu menyesuaikan diri dengan padatnya jam kerja sebagai dirut BEI. Ito merasa tak perlu ada sesuatu yang berubah dalam menjalani hari-harinya.

Salah satu rencana strategis Ito adalah mulai mempersiapkan demutualisasi bursa. Dengan demutualisasi, nantinya pemegang saham bursa tidak hanya anggota bursa, tetapi juga masyarakat dan emiten. Alhasil, dengan kondisi itu, bursa akan menjadi badan usaha yang berorientasi pada keuntungan. Namun, dikhawatirkan, fungsi melayani anggota bursa menjadi berkurang apabila bursa menjadi badan usaha yang berorientasi keuntungan. Ito menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, dia terlebih dahulu mempersiapkan bursa dan anggota bursa agar memiliki sistem dan daya saing yang baik.

Ito mengungkapkan pihaknya ingin BEI dapat menarik investor sebanyak mungkin. Untuk itu, imbuhnya, ke depan, masalah integrasi teknologi informasi (TI) akan lebih ditingkatkan seperti pada PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). “Dengan penerapan TI, investor akan makin mudah berinvestasi dan mengawasi investasinya di bursa,” tuturnya.

Dalam pandangan Ito, peluang investasi di bursa Indonesia sebenarnya lebih besar dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Namun, saat ini jumlah investor asal luar negeri ke Indonesia lebih besar dibandingkan investor lokal. Sayangnya pula, sebagian investor Indonesia lebih tertarik berinvestasi di bursa luar negeri. “Saya kira pemerintah perlu menggalakkan investasi ini melalui Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan,” ujar Ito. Ia juga mengungkapkan bahwa prospek pasar saham masih cerah. Namun, ia menyarankan, bagi investor yang tidak punya kemampuan sendiri dalam berinvestasi di bursa saham, lebih baik berinvestasi melalui reksadana dan harus berhati-hati dalam memilih pialang saham.

Kepemimpinan ala Ki Hadjar Dewantara

Soal leadership, Ito mengaku terinspirasi oleh ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Petuah itu sedikit banyak telah menjadi falsafah yang dijalankan Ito dalam memimpin. Ia menuturkan, selama menjadi pemimpin, dia selalu memotivasi karyawannya untuk maju. “Sebagai pemimpin yang baik, saya selalu mendorong karyawan untuk maju dan mengembangkan kariernya,” paparnya. Jika suatu saat pekerja teladan di perusahaannya memutuskan untuk melanjutkan kariernya di perusahaan lain, maka Ito tak segan-segan mendukungnya asalkan di perusahaan barunya ia mendapatkan gaji yang lebih tinggi atau karier yang lebih tinggi. “Sebab, terkadang kesempatan tidak datang dua kali. Jadi, karyawan tersebut harus dapat memilih yang terbaik bagi dirinya. Hal tersebut sekaligus juga memberikan kesempatan kepada karyawan lain untuk promosi dan berkembang,” ujar pria lulusan HarvardBusinessSchool ini.

Ketika ditanya soal pengalaman pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan, ia mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan untuk menyelamatkan masa depan perusahaan dan karyawan. “Saya pernah mem-PHK lebih dari dua ratus karyawan. Sebelum PHK, saya mencoba mencari kompetensi sang karyawan, lalu mereka diberi pelatihan. Jika mereka masih tetap tidak mengalami perkembangan dan kompetensinya tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan, PHK merupakan jalan terakhir bagi mereka. Namun, saya berusaha memberikan pesangon di atas nilai minimum kepada mereka. Kita harus melihatnya dari sisi kemanusiaan juga,” ungkapnya.

Dalam memberikan kompensasi berupa gaji dan insentif kepada para karyawannya, pria berkumis ini mengungkapkan ia selalu berusaha memberikan kompensasi yang lebih kompetitif. Namun, ia mengakui nilai penggajian karyawan di BEI tidak dapat dibandingkan dengan perusahaan sekuritas. “Di perusahaan sekuritas, kompensasi lebih berdasarkan pencapaian target individu yang nilainya hingga miliaran rupiah, sedangkan di BEI, pencapaian lebih berdasarkan kinerja group performance sehingga kompensasinya pun berbeda. Walaupun demikian, saya berusaha memberikan kompensasi terbaik kepada para karyawan BEI,” jelas pria kelahiran Wonosobo ini.

Kaderisasi juga merupakan suatu hal yang menjadi perhatian penting bagi Ito dalam organisasi perusahaan. Pasalnya, hal itu akan lebih meningkatkan kemampuan anggota tim dan karyawannya serta mengantisipasi jika ada promosi atau perpindahan karyawan. “Jika seorang karyawan pindah, karyawan di bawahnya dapat menggantikan posisinya karena sistem kaderisasi dijalankan dengan baik. Namun, jika ada perpindahan massal dalam suatu bagian perusahaan dan kaderisasi bawahan belum siap, maka saya harus siap dengan mengisi posisi-posisi yang lowong itu dengan karyawan dari luar perusahaan yang kompeten. Oleh karena itu, kaderisasi sangat penting dilakukan di semua lini,” ujar mantan direktur utama PT Bahana Securities ini.

Sebagai pemimpin, Ito menuturkan dirinya kerap mengadakan diskusi dan bertukar pendapat dengan tim dan karyawannya. “Brainstorming merupakan hal yang penting agar ide-ide saya dapat disalurkan sampai ke bawahan,” terangnya. Adapun soal perbedaan pendapat, bagi Ito, hal itu adalah hal yang perlu dihargai. “Kritik itu perlu untuk mengetahui tanggapan anggota tim terhadap ide-ide saya. Saya malah dapat melihat perspektif lain yang dapat memperkaya ide-ide yang saya cetuskan dan dapat menjadi pertimbangan saya dalam mengambil keputusan yang lebih baik,” ujar pria paro baya ini.

Hidup Lurus bagai Air Mengalir 

Dalam menjalankan roda perusahaan, masalah good corporate governance adalah hal yang penting bagi Ito. “Saya selalu berusaha mengikuti peraturan yang berlaku dalam menjalankan perusahaan. Contohnya, dalam penentuan pajak, saya selalu menaati PPh-21. Dengan begitu, kita selalu merasa aman,” tuturnya.

Pria ini mengaku, selama kariernya, dia tidak pernah mengalami konflik dengan pemilik saham ataupun koleganya. “Dengan komunikasi yang baik dan kejujuran, segala konflik dapat dihindarkan. Kepentingan perusahaan harus sejalan dengan kepentingan pribadi,” tandas Ito.

Sebagai kepala keluarga, Ito mengungkapkan ia berusaha memisahkan antara urusan keluarga dan pekerjaan. Kalau sampai di rumah, dia tidak pernah membicarakan masalah pekerjaan. Manajemen keluarga seperti itulah yang membuat dia merasa bisa tenang dalam bekerja. Apalagi, sebagai pribadi, dia mengaku menyukai kesederhanaan. “Saya suka menjadi orang biasa saja. Apa adanya, jadi tidak perlu ada yang berubah,” ujarnya.

Ito mengakui dirinya banyak belajar dari beragam buku bisnis maupun tokoh bisnis. Salah satu buku bisnis yang baru-baru ini dibacanya dan memberinya cukup banyak inspirasi adalah buku berjudul Lead to Bless Leader karya Paulus Bambang W.S. Buku itu ia akui cukup banyak menginspirasinya dan telah memberinya beberapa pengetahuan baru tentang manajemen. “Buku itu mengupas sisi non-teknis manajemen, yaitu sisi kemanusiaan. Jadi, manajemen bukan hanya mengejar laba, tetapi juga kesejahteraan karyawan,” jelas pria yang mengoleksi buku fiksi Harry Potter ini.


Ditulis Oleh:
WENDY S. HUTAHAEAN
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )

Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi No 19 tahun XXI. Judul tulisan ini adalah "Ambisi Rp3.500 Triliun Sang Alumnus Harvard.'