Menantang HM Sampoerna Menjadi Nomor Satu
Kamis, 24 September 2009 12:00
Tanpa banyak basa-basi, John Gledhill, presdir baru PT HM Sampoerna Tbk. sejak Mei lalu, mencanangkan tekad untuk menjadikan HM Sampoerna sebagai pemain nomor satu di industri rokok di Indonesia. Salah satu strateginya adalah meningkatkan kerja sama dengan masyarakat, karyawan, dan mitra bisnis untuk meraih sukses bersama-sama sesuai filosofi “Tiga Tangan” warisan Liem Seeng Tee, pendiri HM Sampoerna.
Empat tahun silam, tepatnya 18 Mei 2005, perusahaan rokok PT HM Sampoerna Tbk. resmi tak lagi menjadi milik keluarga konglomerat nasional Putera Sampoerna. HM Sampoerna diakuisisi oleh perusahaan rokok raksasa dunia Philip Morris Inc. asal Amerika, lewat PT Philip Morris Indonesia. Philip Morris sekarang menguasai 98% saham HM Sampoerna. Kala itu sempat muncul keraguan akan kemampuan Philip Morris, sebagai investor asing, mempertahankan kejayaan HM Sampoerna sepeninggal keluarga Putera Sampoerna sebagai pendiri perusahaan. Namun, nyatanya keraguan itu tidak terbukti.
Saat ditinggalkan keluarga Sampoerna, kinerja HM Sampoerna dalam posisi sangat baik, dengan penjualan bersih (net sales) sebesar Rp17,65 triliun (2004). Ketika itu, HM Sampoerna adalah perusahaan rokok yang menguasai pangsa pasar ketiga terbesar (19,4%) setelah Gudang Garam dan Djarum. Dan, sejak dikuasai Philip Morris, kinerja HM Sampoerna ternyata terus berkembang. Pada 2005 penjualan bersihnya meningkat menjadi Rp24,66 triliun, dan Rp29,55 triliun pada 2006. Angka penjualan bersih HM Sampoerna makin tinggi pada 2007, yaitu sebesar Rp29,78 triliun dan mencapai Rp34,68 triliun pada 2008.
Dalam posisi kinerja yang terus menunjukkan tren meningkat itu, tahun ini Philip Morris menunjuk salah satu eksekutif pentingnya menjadi pimpinan puncak Sampoerna yang baru. Salah satu hasil Rapat Umum Pemegang Saham PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) Mei 2009 lalu adalah mengangkat John Gledhill sebagai direktur utama yang baru menggantikan pejabat sebelumnya, Martin Gray King, yang dipromosikan sebagai Senior Vice President Operations Philip Morris International. Gledhill adalah eksekutif yang telah cukup lama merintis karier di Philip Morris. Sebelumnya ia menjabat sebagai Direktur Pelaksana Philip Morris Limited di Australia.
Meskipun, menurut Gledhill, Philip Morris tidak mematok target khusus kepada dirinya, pria kelahiran Liverpool, Inggris, ini tanpa basa-basi menandaskan ingin mengembangkan posisi HM Sampoerna sebagai pemimpin nomor satu di industri rokok di Indonesia dalam masa kepemimpinannya. Ia merujuk pada pengalaman kerjanya di Philip Morris di berbagai negara selama ini, yaitu tujuan utama pemasaran Philip Morris di banyak negara adalah memenangkan persaingan dan menjadi pemain nomor satu di dunia. “Ada survei yang menempatkan HM Sampoerna pada posisi ketiga dalam industri sigaret Indonesia. Nah, saya akan berusaha meningkatkan posisi perusahaan ini menjadi yang pertama dalam bisnis sigaret di negeri ini. Saya ingin memenangkan persaingan dengan para pesaing kami,” tegasnya.
Menjadi Nomor Satu
Untuk mewujudkan target itu, ada beberapa strategi bisnis yang akan digulirkan Gledhill. Pertama, ia berencana mengembangkan lebih jauh empat merek (brand) andalan Sampoerna, yaitu Sampoerna Hijau, A Mild, Dji Sam Soe, dan Marlboro, menjadi merek yang lebih kuat. “Kami akan gencar melakukan berbagai sosialisasi melalui event dan iklan di berbagai media secara tidak langsung,” ungkap Gledhill
Kedua, Gledhill juga berusaha mengembangkan lebih lanjut filosofi bisnis “Tiga Tangan” yang telah lama dimiliki HM Sampoerna. Tiga Tangan adalah falsafah bisnis yang ditanamkan Liem Seeng Tee, pendiri HM Sampoerna (kakek Putera Sampoerna), dan tercermin dalam logo HM Sampoerna yang tetap digunakan hingga kini. Falsafah Tiga Tangan bermakna bahwa untuk mencapai sukses, tiga pihak, yaitu produsen, pedagang, dan konsumen harus sama-sama berbagi keuntungan. Oleh Gledhill, filosofi Tiga Tangan ini kemudian diterjemahkan bahwa HM Sampoerna hendaknya bisa berkembang bersama-sama masyarakat, karyawan, dan mitra bisnisnya untuk dapat meningkatkan kinerja perusahaan. “Kami akan lebih aktif melakukan aktivitas corporate social responsibility terhadap masyarakat lokal,” papar alumnus INSEAD ini.
Selain itu, Gledhill juga berencana meningkatkan kinerja karyawan HM Sampoerna lebih baik lagi. Ia melihat kekuatan utama HM Sampoerna terletak pada keandalan para karyawannya selama ini. “Namun, karyawan-karyawan berbakat ini perlu diasah lebih lanjut dengan memberi mereka banyak pelatihan sehingga bisa memiliki paduan emas dengan visi HM Sampoerna dan Philip Morris. Memadukan talenta karyawan dengan bisnis perusahaan sangatlah penting,” tutur pria berpostur tinggi dan atletis ini. Gledhill mengaku memiliki prinsip berusaha mempertahankan karyawan dan meningkatkan kemampuan mereka sebisa mungkin. “Namun, jika mereka sulit berubah dan menyesuaikan diri dengan kinerja perusahaan, saya tidak segan-segan memberikan peringatan,” tandasnya.
Ketiga, Gledhill menegaskan dirinya tidak gentar dalam menghadapi pesaing di industri rokok dan akan selalu berusaha menciptakan inovasi baru yang laku keras di pasaran untuk memenangkan persaingan. “Misalnya, Juli ini kami telah mengeluarkan produk sigaret kretek tangan (SKT) Dji Sam Soe Gold. Produk terbaru ini merupakan pengembangan dari sigaret Dji Sam Soe sebelumnya dan menjadi varian ketujuh yang ada di pasar dengan menggunakan tembakau dan cengkeh kualitas nomor satu yang ada di Indonesia,” ungkapnya setengah berpromosi.
Dengan terus berusaha menciptakan produk-produk baru yang dapat memberikan keuntungan lebih besar, Gledhill sangat optimistis dapat meningkatkan pasar HM Sampoerna di Indonesia. Dan, meskipun Philip Morris dikenal sebagai raja rokok putih melalui rokok bermerek Marlboro, Gledhill menyatakan HM Sampoerna akan tetap fokus pada produksi rokok kretek. Tidak hanya berusaha memaksimalkan pangsa pasar produk sigaret kretek tangan, kata dia, tetapi juga pangsa pasar produk sigaret kretek mesin (SKM) HM Sampoerna. “Misalnya, untuk SKT, dua tahun lalu kami memproduksi rokok Dji Sam Soe Magnum, dan itu sekarang berlanjut dengan produk baru Dji Sam Soe Gold. Nah, untuk SKM, kami mengembangkan lebih jauh produk A Mild dengan meluncurkan produk baru bernama Evolution,” ujarnya. Dengan terus berinovasi, Gledhill berharap bisa mempertahankan kepemimpinan pasar HM Sampoerna di semua jenis rokok selama ini, baik SKT maupun SKM.
Tantangan
Kendati demikian, Gledhill mengaku ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi untuk membuat HM Sampoerna menjadi nomor satu. Di antaranya, restriksi atau kontrol pemerintah untuk iklan dan pemasaran rokok, restriksi atau kontrol pemerintah untuk kebiasaan merokok masyarakat terkait masalah kesehatan umum, serta masalah perpajakan dan cukai untuk industri rokok. “Regulasi pemerintah terhadap industri rokok adalah kunci bagi perkembangan industri sigaret ke depan. Saya berharap hal itu dapat komprehensif, akurat, konsisten, dan fair buat industri sigaret,” papar Gledhill.
Bagi Gledhill, regulasi yang dibuat untuk industri rokok hendaknya tidak hanya untuk kepentingan pemerintah saja, tetapi juga memerhatikan kepentingan industri. “Concern saya adalah jangan sampai terjadi unfair regulation,” katanya. Selain itu, tambahnya, peraturan yang dibuat diharapkan juga tidak mudah berubah-ubah dan tidak jelas. “Jadi, hendaknya peraturan-peraturan yang dibuat mendukung iklim usaha atau iklim investasi yang lebih baik bagi industri rokok di negara ini,” jelas pria yang murah senyum ini. Misalnya, tentang usulan Departemen Perindustrian yang baru-baru ini ingin memasukkan industri rokok dalam Daftar Negatif Investasi. “Kami membutuhkan klarifikasi lebih jauh tentang isu ini,” tutur penggemar klub sepak bola Liverpool FC ini.
Menghadapi dilema moral antara bisnis sigaret dan kesehatan manusia, Gledhill berpendapat bahwa konsumsi sigaret harus diiringi dengan kompensasi kepada masyarakat. Hal ini dapat berupa kesadaran segmentasi konsumen sigaret pada usia dan kalangan tertentu. “Memang saya sepakat bahwa sigaret dapat merusak kesehatan. Oleh karena itu, HM Sampoerna selalu memberikan kompensasi kepada masyarakat seperti pendidikan, pelatihan usaha, dan kegiatan sosial,” kata pria yang mengonsumsi sigaret hanya pada saat tertentu alias social smoker ini.
Menurut Gledhill, akan lebih baik bagi HM Sampoerna untuk tetap memiliki budaya lokal meskipun sekarang telah dimiliki perusahaan rokok multinasional. Apalagi jika mengingat pasokan bahan baku sebagian besar berasal dari petani lokal, karyawan yang sebagian besar adalah masyarakat lokal, dan konsumen yang juga sebagian besar adalah masyarakat dalam negeri. “Kami lebih merasa sebagai perusahaan lokal ketimbang perusahaan multinasional,” pungkas Gledhill.
Ditulis Oleh:
WENDY HUTAHAEAN, FEKUM ARIESBOWO W., DAN FADJAR ADRIANTO
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )
Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi Nomor XXI, 2009. Judul asli tulisan ini adalah "Menantang HM Sampoerna Menjadi Nomor Satu"
Kamis, 24 September 2009 12:00
Tanpa banyak basa-basi, John Gledhill, presdir baru PT HM Sampoerna Tbk. sejak Mei lalu, mencanangkan tekad untuk menjadikan HM Sampoerna sebagai pemain nomor satu di industri rokok di Indonesia. Salah satu strateginya adalah meningkatkan kerja sama dengan masyarakat, karyawan, dan mitra bisnis untuk meraih sukses bersama-sama sesuai filosofi “Tiga Tangan” warisan Liem Seeng Tee, pendiri HM Sampoerna.
Empat tahun silam, tepatnya 18 Mei 2005, perusahaan rokok PT HM Sampoerna Tbk. resmi tak lagi menjadi milik keluarga konglomerat nasional Putera Sampoerna. HM Sampoerna diakuisisi oleh perusahaan rokok raksasa dunia Philip Morris Inc. asal Amerika, lewat PT Philip Morris Indonesia. Philip Morris sekarang menguasai 98% saham HM Sampoerna. Kala itu sempat muncul keraguan akan kemampuan Philip Morris, sebagai investor asing, mempertahankan kejayaan HM Sampoerna sepeninggal keluarga Putera Sampoerna sebagai pendiri perusahaan. Namun, nyatanya keraguan itu tidak terbukti.
Saat ditinggalkan keluarga Sampoerna, kinerja HM Sampoerna dalam posisi sangat baik, dengan penjualan bersih (net sales) sebesar Rp17,65 triliun (2004). Ketika itu, HM Sampoerna adalah perusahaan rokok yang menguasai pangsa pasar ketiga terbesar (19,4%) setelah Gudang Garam dan Djarum. Dan, sejak dikuasai Philip Morris, kinerja HM Sampoerna ternyata terus berkembang. Pada 2005 penjualan bersihnya meningkat menjadi Rp24,66 triliun, dan Rp29,55 triliun pada 2006. Angka penjualan bersih HM Sampoerna makin tinggi pada 2007, yaitu sebesar Rp29,78 triliun dan mencapai Rp34,68 triliun pada 2008.
Dalam posisi kinerja yang terus menunjukkan tren meningkat itu, tahun ini Philip Morris menunjuk salah satu eksekutif pentingnya menjadi pimpinan puncak Sampoerna yang baru. Salah satu hasil Rapat Umum Pemegang Saham PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) Mei 2009 lalu adalah mengangkat John Gledhill sebagai direktur utama yang baru menggantikan pejabat sebelumnya, Martin Gray King, yang dipromosikan sebagai Senior Vice President Operations Philip Morris International. Gledhill adalah eksekutif yang telah cukup lama merintis karier di Philip Morris. Sebelumnya ia menjabat sebagai Direktur Pelaksana Philip Morris Limited di Australia.
Meskipun, menurut Gledhill, Philip Morris tidak mematok target khusus kepada dirinya, pria kelahiran Liverpool, Inggris, ini tanpa basa-basi menandaskan ingin mengembangkan posisi HM Sampoerna sebagai pemimpin nomor satu di industri rokok di Indonesia dalam masa kepemimpinannya. Ia merujuk pada pengalaman kerjanya di Philip Morris di berbagai negara selama ini, yaitu tujuan utama pemasaran Philip Morris di banyak negara adalah memenangkan persaingan dan menjadi pemain nomor satu di dunia. “Ada survei yang menempatkan HM Sampoerna pada posisi ketiga dalam industri sigaret Indonesia. Nah, saya akan berusaha meningkatkan posisi perusahaan ini menjadi yang pertama dalam bisnis sigaret di negeri ini. Saya ingin memenangkan persaingan dengan para pesaing kami,” tegasnya.
Menjadi Nomor Satu
Untuk mewujudkan target itu, ada beberapa strategi bisnis yang akan digulirkan Gledhill. Pertama, ia berencana mengembangkan lebih jauh empat merek (brand) andalan Sampoerna, yaitu Sampoerna Hijau, A Mild, Dji Sam Soe, dan Marlboro, menjadi merek yang lebih kuat. “Kami akan gencar melakukan berbagai sosialisasi melalui event dan iklan di berbagai media secara tidak langsung,” ungkap Gledhill
Kedua, Gledhill juga berusaha mengembangkan lebih lanjut filosofi bisnis “Tiga Tangan” yang telah lama dimiliki HM Sampoerna. Tiga Tangan adalah falsafah bisnis yang ditanamkan Liem Seeng Tee, pendiri HM Sampoerna (kakek Putera Sampoerna), dan tercermin dalam logo HM Sampoerna yang tetap digunakan hingga kini. Falsafah Tiga Tangan bermakna bahwa untuk mencapai sukses, tiga pihak, yaitu produsen, pedagang, dan konsumen harus sama-sama berbagi keuntungan. Oleh Gledhill, filosofi Tiga Tangan ini kemudian diterjemahkan bahwa HM Sampoerna hendaknya bisa berkembang bersama-sama masyarakat, karyawan, dan mitra bisnisnya untuk dapat meningkatkan kinerja perusahaan. “Kami akan lebih aktif melakukan aktivitas corporate social responsibility terhadap masyarakat lokal,” papar alumnus INSEAD ini.
Selain itu, Gledhill juga berencana meningkatkan kinerja karyawan HM Sampoerna lebih baik lagi. Ia melihat kekuatan utama HM Sampoerna terletak pada keandalan para karyawannya selama ini. “Namun, karyawan-karyawan berbakat ini perlu diasah lebih lanjut dengan memberi mereka banyak pelatihan sehingga bisa memiliki paduan emas dengan visi HM Sampoerna dan Philip Morris. Memadukan talenta karyawan dengan bisnis perusahaan sangatlah penting,” tutur pria berpostur tinggi dan atletis ini. Gledhill mengaku memiliki prinsip berusaha mempertahankan karyawan dan meningkatkan kemampuan mereka sebisa mungkin. “Namun, jika mereka sulit berubah dan menyesuaikan diri dengan kinerja perusahaan, saya tidak segan-segan memberikan peringatan,” tandasnya.
Ketiga, Gledhill menegaskan dirinya tidak gentar dalam menghadapi pesaing di industri rokok dan akan selalu berusaha menciptakan inovasi baru yang laku keras di pasaran untuk memenangkan persaingan. “Misalnya, Juli ini kami telah mengeluarkan produk sigaret kretek tangan (SKT) Dji Sam Soe Gold. Produk terbaru ini merupakan pengembangan dari sigaret Dji Sam Soe sebelumnya dan menjadi varian ketujuh yang ada di pasar dengan menggunakan tembakau dan cengkeh kualitas nomor satu yang ada di Indonesia,” ungkapnya setengah berpromosi.
Dengan terus berusaha menciptakan produk-produk baru yang dapat memberikan keuntungan lebih besar, Gledhill sangat optimistis dapat meningkatkan pasar HM Sampoerna di Indonesia. Dan, meskipun Philip Morris dikenal sebagai raja rokok putih melalui rokok bermerek Marlboro, Gledhill menyatakan HM Sampoerna akan tetap fokus pada produksi rokok kretek. Tidak hanya berusaha memaksimalkan pangsa pasar produk sigaret kretek tangan, kata dia, tetapi juga pangsa pasar produk sigaret kretek mesin (SKM) HM Sampoerna. “Misalnya, untuk SKT, dua tahun lalu kami memproduksi rokok Dji Sam Soe Magnum, dan itu sekarang berlanjut dengan produk baru Dji Sam Soe Gold. Nah, untuk SKM, kami mengembangkan lebih jauh produk A Mild dengan meluncurkan produk baru bernama Evolution,” ujarnya. Dengan terus berinovasi, Gledhill berharap bisa mempertahankan kepemimpinan pasar HM Sampoerna di semua jenis rokok selama ini, baik SKT maupun SKM.
Tantangan
Kendati demikian, Gledhill mengaku ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi untuk membuat HM Sampoerna menjadi nomor satu. Di antaranya, restriksi atau kontrol pemerintah untuk iklan dan pemasaran rokok, restriksi atau kontrol pemerintah untuk kebiasaan merokok masyarakat terkait masalah kesehatan umum, serta masalah perpajakan dan cukai untuk industri rokok. “Regulasi pemerintah terhadap industri rokok adalah kunci bagi perkembangan industri sigaret ke depan. Saya berharap hal itu dapat komprehensif, akurat, konsisten, dan fair buat industri sigaret,” papar Gledhill.
Bagi Gledhill, regulasi yang dibuat untuk industri rokok hendaknya tidak hanya untuk kepentingan pemerintah saja, tetapi juga memerhatikan kepentingan industri. “Concern saya adalah jangan sampai terjadi unfair regulation,” katanya. Selain itu, tambahnya, peraturan yang dibuat diharapkan juga tidak mudah berubah-ubah dan tidak jelas. “Jadi, hendaknya peraturan-peraturan yang dibuat mendukung iklim usaha atau iklim investasi yang lebih baik bagi industri rokok di negara ini,” jelas pria yang murah senyum ini. Misalnya, tentang usulan Departemen Perindustrian yang baru-baru ini ingin memasukkan industri rokok dalam Daftar Negatif Investasi. “Kami membutuhkan klarifikasi lebih jauh tentang isu ini,” tutur penggemar klub sepak bola Liverpool FC ini.
Menghadapi dilema moral antara bisnis sigaret dan kesehatan manusia, Gledhill berpendapat bahwa konsumsi sigaret harus diiringi dengan kompensasi kepada masyarakat. Hal ini dapat berupa kesadaran segmentasi konsumen sigaret pada usia dan kalangan tertentu. “Memang saya sepakat bahwa sigaret dapat merusak kesehatan. Oleh karena itu, HM Sampoerna selalu memberikan kompensasi kepada masyarakat seperti pendidikan, pelatihan usaha, dan kegiatan sosial,” kata pria yang mengonsumsi sigaret hanya pada saat tertentu alias social smoker ini.
Menurut Gledhill, akan lebih baik bagi HM Sampoerna untuk tetap memiliki budaya lokal meskipun sekarang telah dimiliki perusahaan rokok multinasional. Apalagi jika mengingat pasokan bahan baku sebagian besar berasal dari petani lokal, karyawan yang sebagian besar adalah masyarakat lokal, dan konsumen yang juga sebagian besar adalah masyarakat dalam negeri. “Kami lebih merasa sebagai perusahaan lokal ketimbang perusahaan multinasional,” pungkas Gledhill.
Ditulis Oleh:
WENDY HUTAHAEAN, FEKUM ARIESBOWO W., DAN FADJAR ADRIANTO
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )
Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi Nomor XXI, 2009. Judul asli tulisan ini adalah "Menantang HM Sampoerna Menjadi Nomor Satu"
0 komentar:
Posting Komentar