Beda Jurus Kesehatan Thailand dan Malaysia
Beda Jurus Thailand dan Malaysia
Minggu, 03 Januari 2010 18:03
Penduduk Thailand hanya membayar 30 baht (Rp6.000) untuk sekali berobat atau dirawat di RS. Sementara di Malaysia, tiap pasien Malaysia yang memerlukan perawatan di RS pemerintah Malaysia hanya membayar RM3 (setara dengan Rp6.500) sehari.
Praktek dokter di sebuah rumah sakit (RS) merupakan cermin kualitas pelayanan rumah sakit tersebut. Celakanya, belakangan ini banyak keluhan masyarakat muncul tentang buruknya akses masyarakat terhadap pelayanan dokter di RS. Banyak pasien merasa sudah membayar sedemikian mahal layanan kesehatan di RS, tetapi toh pelayanannya kurang memuaskan. Apakah kejadian semacam ini juga jamak terjadi di negara-negara tetangga kita?
Ada baiknya kita menengok sejenak potret layanan kesehatan di Thailand dan Malaysia. Untuk layanan kesehatan masyarakatnya, pemerintah Thailand menerapkan "30 Baht Policy". Negeri Seribu Gajah itu tidak jauh lebih kaya dari Indonesia, tetapi negeri itu mampu membuat kebijakan kesehatan yang "pro rakyat". Dengan kebijakan 30 baht (setara dengan Rp6.000), pemerintah menjamin seluruh penduduk negeri itu mampu memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Penduduk yang pegawai negeri atau karyawan swasta dijamin melalui sistem jaminan sosial, sedangkan sektor informal hanya membayar 30 baht untuk sekali berobat atau dirawat di RS. Meski seorang penduduk harus masuk ICU satu minggu (jika ini terjadi di Indonesia, seorang pasien harus membayar Rp10 juta lebih), penduduk Thailand hanya membayar 30 baht. Jumlah itu sudah termasuk jasa dokter, biaya laboratorium, rontgen, operasi, atau obat-obatan.
Bagaimana mungkin? Sistemnya sederhana. Prinsipnya, semua rakyat harus bisa memperoleh pelayanan di RS sesuai penyakitnya, tidak peduli miskin atau kaya. Pemerintah membayar RS sebesar 1.204 baht (sekitar Rp240.000) per orang per tahun sesuai jumlah orang yang mendaftar ke RS itu tanpa memperhatikan jumlah yang sakit. Cara pembayaran ini disebut kapitasi. Dokter di RS bekerja purnawaktu (tidak boleh berpraktek di berbagai RS) sehingga setiap saat pasien bisa menemuinya. Inilah sistem kebijakan kesehatan yang sehat menurut kacamata rakyat.
Kebijakan Layanan Kesehatan di Malaysia
Di Malaysia sistemnya sedikit berbeda. Dokter di RS pemerintah juga bekerja purnawaktu, tidak boleh praktek pribadi, baik di RS yang sama maupun swasta, sehingga dokter selalu tersedia setiap saat. Namun, berbeda dengan di Thailand, seluruh biaya RS dan gaji dokter dibiayai dari anggaran Departemen Kesehatan Malaysia. Dokter mendapat gaji layak, tidak besar, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang dokter serta mencicil rumah dan mobil.
Tiap pasien yang memerlukan perawatan di RS pemerintah Malaysia hanya membayar RM3 sehari (setara dengan Rp6.500). Jumlah yang harus dibayar pasien tidak tergantung pada jenis pelayanan yang diterimanya, karena semua biaya perawatan di ICU, operasi, ataupun obat-obatan sudah termasuk yang dibayarkan. Kualitas pelayanannya bisa dibilang baik, tidak banyak berbeda dengan pelayanan RS swasta di sana. Sementara itu, di RS swasta Malaysia ada tarif untuk tiap jenis pelayanan (istilah teknisnya, tarif fee for service). Pasien di RS swasta juga tidak harus kecewa karena dokternya sedang praktek di RS lain atau biaya terlalu mahal. Dokter di RS swasta juga bekerja purnawaktu, jadi selalu tersedia bagi pasien yang membutuhkan.
Ikatan Dokter Malaysia bersama Departemen Kesehatan Malaysia membuat daftar tarif maksimum. Dengan demikian, dokter dan RS swasta tidak seenaknya menetapkan tarif. Tidak ada beda jasa dokter di kelas III dan kelas VIP seperti yang terjadi di Indonesia. Biaya operasi jantung di Malaysia jauh lebih murah daripada di Indonesia, baik di RS pemerintah maupun swasta, karena ada batas tarif. Biaya operasi jantung di Kuala Lumpur sekitar Rp40‒50 juta (rata-rata RM22.000), sedangkan di RS lain sekitar Rp60 juta. Di Jakarta, untuk bedah jantung harus membayar Rp150 juta. Akan tetapi, penduduk Malaysia yang perlu operasi jantung di RS di sana hanya membayar RM10 untuk sehari perawatan. Ini juga contoh sistem pelayanan RS yang sehat bagi rakyat.
Jadi, bandingkan dengan pelayanan kesehatan di RS kita, baik swasta maupun pemerintah, yang terlihat lemah dalam mengutamakan kepentingan pasien. Amat sedikit dokter bekerja purnawaktu, baik di RS pemerintah (meski berstatus PNS tetap di situ) maupun swasta. Sebagian besar dokter bekerja serba sambilan di tiap RS sehingga pelayanan kepada pasien tidak memuaskan. Ini terkait dengan sistem pendidikan dokter, penempatan dokter, penggajian dokter, dan lemahnya pengaturan pemerintah dalam melindungi pasien. Karena alasan gaji tidak memadai, dokter melayani pasien swasta di berbagai RS. Pasien tidak mendapat perlindungan memadai, dokter dan RS dapat menetapkan tarif sendiri. Tidak ada tarif standar. Tarif pelayanan kesehatan yang dibutuhkan seluruh penduduk tidak diatur.
Pada era reformasi, pemerintah justru mengubah rumah sakitnya menjadi BUMN. Akibatnya, dikhawatirkan tarifnya kian mahal. Harga obat dan bahan medis juga tidak dikontrol. Padahal, sistem jaminan kesehatan belum tersedia bagi semua. Program bantuan biaya kesehatan bagi penduduk miskin amat tidak memadai. Jadi, jangan heran jika makin banyak masyarakat mengeluh tentang kualitas dan biaya layanan kesehatan di negara ini.
Indikator Dukungan Pemerintah terhadap Pelayanan Kesehatan
Menurut survei PriceWaterhouse Coopers, Indonesia membelanjakan US$19,1 per kapita per tahun untuk pemeliharaan kesehatan, atau sekitar 1,7% dari produk domestik bruto (PDB). Bandingkan dengan Malaysia (US$97,3 atau 2,4% PDB), Thailand (US$108,5 atau 4,3% PDB), Singapura (US$667 atau 3,5% PDB), dan Taiwan (US$623,8 atau 4,8% PDB). Pada waktu itu, PDB per kapita Indonesia diperhitungkan sebesar US$1.080.
Laporan itu juga mengatakan, harapan untuk hidup (life expectancy) Indonesia adalah yang terendah dibanding negara-negara itu, yaitu 68 tahun. Rasio tempat tidur dibanding jumlah penduduk juga terendah, yaitu 0,6 per 1.000. Adapun penyebab kematian di Indonesia ternyata justru penyakit-penyakit yang sebenarnya telah diketahui cara diagnosis dan terapinya, yaitu infeksi alat pernapasan (15,15%) dan TBC (11,5%). Sedangkan di negara-negara tetangga kita, penyebab kematian utama adalah kanker atau cardiovascular, yang merupakan penyakit-penyakit yang lebih sulit pengobatannya.
Cakupan kepesertaan penduduk Indonesia dalam program jaminan sosial sektor kesehatan (compulsory coverage, semacam asuransi kesehatan wajib/sosial) juga terendah, yaitu sekitar 15%. Bandingkan dengan Thailand, yang telah mencapai 56%, dan Taiwan yang 96%. Rendahnya cakupan kepesertaan dalam program asuransi kesehatan, ternyata juga menyebabkan inefisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Meski Indonesia hanya membelanjakan sekitar US$10 per kapita per tahun untuk obat-obatan, sementara Taiwan sekitar US$83, pemakaian obat generik di Indonesia hanya mencapai sekitar 10%, sedangkan di Taiwan mencapai sekitar 70%. Itu sebabnya, dengan kepesertaan sekitar 96% penduduk dalam program asuransi kesehatan (sosial), Taiwan dapat menyelenggarakan standarisasi pelayanan, termasuk obat, sehingga dana yang tersedia dapat dimanfaatkan lebih efisien.
Itulah sedikit gambaran mengapa belanja kesehatan Indonesia adalah yang terendah. Dampaknya, ada keterbatasan membangun sarana kesehatan bagi rakyat dan sudah tentu berpengaruh pada status kesehatan rakyat. Meski status kesehatan tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan dana, masalah mobilisasi dana untuk pembiayaan kesehatan di Indonesia tampaknya makin mendesak.
Ditulis Oleh:
WENDY HUTAHAEAN
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )
Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi No 17 tahun XXI. Judul asli tulisan ini adalah "Beda Jurus Thailand dan Malaysia."
Minggu, 03 Januari 2010 18:03
Penduduk Thailand hanya membayar 30 baht (Rp6.000) untuk sekali berobat atau dirawat di RS. Sementara di Malaysia, tiap pasien Malaysia yang memerlukan perawatan di RS pemerintah Malaysia hanya membayar RM3 (setara dengan Rp6.500) sehari.
Praktek dokter di sebuah rumah sakit (RS) merupakan cermin kualitas pelayanan rumah sakit tersebut. Celakanya, belakangan ini banyak keluhan masyarakat muncul tentang buruknya akses masyarakat terhadap pelayanan dokter di RS. Banyak pasien merasa sudah membayar sedemikian mahal layanan kesehatan di RS, tetapi toh pelayanannya kurang memuaskan. Apakah kejadian semacam ini juga jamak terjadi di negara-negara tetangga kita?
Ada baiknya kita menengok sejenak potret layanan kesehatan di Thailand dan Malaysia. Untuk layanan kesehatan masyarakatnya, pemerintah Thailand menerapkan "30 Baht Policy". Negeri Seribu Gajah itu tidak jauh lebih kaya dari Indonesia, tetapi negeri itu mampu membuat kebijakan kesehatan yang "pro rakyat". Dengan kebijakan 30 baht (setara dengan Rp6.000), pemerintah menjamin seluruh penduduk negeri itu mampu memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Penduduk yang pegawai negeri atau karyawan swasta dijamin melalui sistem jaminan sosial, sedangkan sektor informal hanya membayar 30 baht untuk sekali berobat atau dirawat di RS. Meski seorang penduduk harus masuk ICU satu minggu (jika ini terjadi di Indonesia, seorang pasien harus membayar Rp10 juta lebih), penduduk Thailand hanya membayar 30 baht. Jumlah itu sudah termasuk jasa dokter, biaya laboratorium, rontgen, operasi, atau obat-obatan.
Bagaimana mungkin? Sistemnya sederhana. Prinsipnya, semua rakyat harus bisa memperoleh pelayanan di RS sesuai penyakitnya, tidak peduli miskin atau kaya. Pemerintah membayar RS sebesar 1.204 baht (sekitar Rp240.000) per orang per tahun sesuai jumlah orang yang mendaftar ke RS itu tanpa memperhatikan jumlah yang sakit. Cara pembayaran ini disebut kapitasi. Dokter di RS bekerja purnawaktu (tidak boleh berpraktek di berbagai RS) sehingga setiap saat pasien bisa menemuinya. Inilah sistem kebijakan kesehatan yang sehat menurut kacamata rakyat.
Kebijakan Layanan Kesehatan di Malaysia
Di Malaysia sistemnya sedikit berbeda. Dokter di RS pemerintah juga bekerja purnawaktu, tidak boleh praktek pribadi, baik di RS yang sama maupun swasta, sehingga dokter selalu tersedia setiap saat. Namun, berbeda dengan di Thailand, seluruh biaya RS dan gaji dokter dibiayai dari anggaran Departemen Kesehatan Malaysia. Dokter mendapat gaji layak, tidak besar, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang dokter serta mencicil rumah dan mobil.
Tiap pasien yang memerlukan perawatan di RS pemerintah Malaysia hanya membayar RM3 sehari (setara dengan Rp6.500). Jumlah yang harus dibayar pasien tidak tergantung pada jenis pelayanan yang diterimanya, karena semua biaya perawatan di ICU, operasi, ataupun obat-obatan sudah termasuk yang dibayarkan. Kualitas pelayanannya bisa dibilang baik, tidak banyak berbeda dengan pelayanan RS swasta di sana. Sementara itu, di RS swasta Malaysia ada tarif untuk tiap jenis pelayanan (istilah teknisnya, tarif fee for service). Pasien di RS swasta juga tidak harus kecewa karena dokternya sedang praktek di RS lain atau biaya terlalu mahal. Dokter di RS swasta juga bekerja purnawaktu, jadi selalu tersedia bagi pasien yang membutuhkan.
Ikatan Dokter Malaysia bersama Departemen Kesehatan Malaysia membuat daftar tarif maksimum. Dengan demikian, dokter dan RS swasta tidak seenaknya menetapkan tarif. Tidak ada beda jasa dokter di kelas III dan kelas VIP seperti yang terjadi di Indonesia. Biaya operasi jantung di Malaysia jauh lebih murah daripada di Indonesia, baik di RS pemerintah maupun swasta, karena ada batas tarif. Biaya operasi jantung di Kuala Lumpur sekitar Rp40‒50 juta (rata-rata RM22.000), sedangkan di RS lain sekitar Rp60 juta. Di Jakarta, untuk bedah jantung harus membayar Rp150 juta. Akan tetapi, penduduk Malaysia yang perlu operasi jantung di RS di sana hanya membayar RM10 untuk sehari perawatan. Ini juga contoh sistem pelayanan RS yang sehat bagi rakyat.
Jadi, bandingkan dengan pelayanan kesehatan di RS kita, baik swasta maupun pemerintah, yang terlihat lemah dalam mengutamakan kepentingan pasien. Amat sedikit dokter bekerja purnawaktu, baik di RS pemerintah (meski berstatus PNS tetap di situ) maupun swasta. Sebagian besar dokter bekerja serba sambilan di tiap RS sehingga pelayanan kepada pasien tidak memuaskan. Ini terkait dengan sistem pendidikan dokter, penempatan dokter, penggajian dokter, dan lemahnya pengaturan pemerintah dalam melindungi pasien. Karena alasan gaji tidak memadai, dokter melayani pasien swasta di berbagai RS. Pasien tidak mendapat perlindungan memadai, dokter dan RS dapat menetapkan tarif sendiri. Tidak ada tarif standar. Tarif pelayanan kesehatan yang dibutuhkan seluruh penduduk tidak diatur.
Pada era reformasi, pemerintah justru mengubah rumah sakitnya menjadi BUMN. Akibatnya, dikhawatirkan tarifnya kian mahal. Harga obat dan bahan medis juga tidak dikontrol. Padahal, sistem jaminan kesehatan belum tersedia bagi semua. Program bantuan biaya kesehatan bagi penduduk miskin amat tidak memadai. Jadi, jangan heran jika makin banyak masyarakat mengeluh tentang kualitas dan biaya layanan kesehatan di negara ini.
Indikator Dukungan Pemerintah terhadap Pelayanan Kesehatan
Menurut survei PriceWaterhouse Coopers, Indonesia membelanjakan US$19,1 per kapita per tahun untuk pemeliharaan kesehatan, atau sekitar 1,7% dari produk domestik bruto (PDB). Bandingkan dengan Malaysia (US$97,3 atau 2,4% PDB), Thailand (US$108,5 atau 4,3% PDB), Singapura (US$667 atau 3,5% PDB), dan Taiwan (US$623,8 atau 4,8% PDB). Pada waktu itu, PDB per kapita Indonesia diperhitungkan sebesar US$1.080.
Laporan itu juga mengatakan, harapan untuk hidup (life expectancy) Indonesia adalah yang terendah dibanding negara-negara itu, yaitu 68 tahun. Rasio tempat tidur dibanding jumlah penduduk juga terendah, yaitu 0,6 per 1.000. Adapun penyebab kematian di Indonesia ternyata justru penyakit-penyakit yang sebenarnya telah diketahui cara diagnosis dan terapinya, yaitu infeksi alat pernapasan (15,15%) dan TBC (11,5%). Sedangkan di negara-negara tetangga kita, penyebab kematian utama adalah kanker atau cardiovascular, yang merupakan penyakit-penyakit yang lebih sulit pengobatannya.
Cakupan kepesertaan penduduk Indonesia dalam program jaminan sosial sektor kesehatan (compulsory coverage, semacam asuransi kesehatan wajib/sosial) juga terendah, yaitu sekitar 15%. Bandingkan dengan Thailand, yang telah mencapai 56%, dan Taiwan yang 96%. Rendahnya cakupan kepesertaan dalam program asuransi kesehatan, ternyata juga menyebabkan inefisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Meski Indonesia hanya membelanjakan sekitar US$10 per kapita per tahun untuk obat-obatan, sementara Taiwan sekitar US$83, pemakaian obat generik di Indonesia hanya mencapai sekitar 10%, sedangkan di Taiwan mencapai sekitar 70%. Itu sebabnya, dengan kepesertaan sekitar 96% penduduk dalam program asuransi kesehatan (sosial), Taiwan dapat menyelenggarakan standarisasi pelayanan, termasuk obat, sehingga dana yang tersedia dapat dimanfaatkan lebih efisien.
Itulah sedikit gambaran mengapa belanja kesehatan Indonesia adalah yang terendah. Dampaknya, ada keterbatasan membangun sarana kesehatan bagi rakyat dan sudah tentu berpengaruh pada status kesehatan rakyat. Meski status kesehatan tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan dana, masalah mobilisasi dana untuk pembiayaan kesehatan di Indonesia tampaknya makin mendesak.
Ditulis Oleh:
WENDY HUTAHAEAN
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )
Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi No 17 tahun XXI. Judul asli tulisan ini adalah "Beda Jurus Thailand dan Malaysia."
0 komentar:
Posting Komentar